Staycation masih tidak kehilangan pesonanya. Jenis wisata ini memang populer di awal pandemi dan masih menjadi pilihan bagi wisatawan domestik.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa periode Mei 2021 hingga Mei 2022, pilihan untuk melakukan staycation pada periode tersebut berdampak pada kenaikan tingkat hunian kamar hotel berbintang sebesar 49,85 persen.
Staycation dapat dikatakan seperti slow tourism, yang pada umumnya dilakukan di dalam negeri (domestik).
Ancaman Resesi
Di tengah impian akan meraih asa baru di tahun baru, bayang-bayang ancaman resesi keuangan dan perekonomian dunia “menghantui” sektor pariwisata.
Dalam banyak pemberitaan dikatakan bahwa kondisi ekonomi tahun 2023 akan lebih berat dibandingkan sebelumnya, karenanya perlu banyak penyesuaian untuk dilakukan sebagai bentuk solusi maupun antisipasi.
Kolaborasi dengan berbagai pihak untuk menjaga daya beli di sektor pariwisata perlu dilakukan, antara lain dengan:
Pertama, optimalisasi kebijakan pelonggaran akses bagi wisatawan mancanegara dan mobilitas bagi wisatawan nusantara, dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan mengingat pandemi belum benar-benar berakhir.
Kedua, penguatan penerapan disiplin protokol kesehatan dengan terus mengutamakan cleanliness (kebersihan), health (kesehatan), safety (keselamatan), dan environment sustainability (kelestarian lingkungan) atau CHSE. Destinasi dan usaha pariwisata didorong untuk melakukan sertifikasi CHSE untuk keamanan dan kenyamanan wisatawan selama berwisata. Sertifikasi CHSE diberikan oleh Kemenparekraf.
Ketiga, mengutamakan penggunaan produk-produk lokal dengan terus menggaungkan gerakan Bangga Buatan Indonesia. Dengan menggunakan produk dalam negeri akan memperkuat perekonomian domestik dan dapat menekan impor.
Keempat, meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) pariwisata dan memfasilitasi para pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif dalam pengembangan pasar agar semakin kompetitif.