Meja dan kursi ini dipercaya telah berusia ratusan tahun. Di masa lampau yang duduk di situ adalah raja, adik-adik raja, penasihat terdakwa, penasihat korban, dan penasihat kerajaan.Â
Selain sebagai tempat persidangan, batu persidangan juga difungsikan sebagai lokasi untuk melakukan rapat segala hal yang terjadi di kampung seperti contohnya upacara kematian, pesta perkawinan, dan lain-lain.
Boneka ini dipercaya dapat mengeluarkan air mata dan menari sendiri dalam ritual tertentu. Pengunjung yang datang dapat berfoto dengan patung Sigale-gale sambil mengenakan ulos dan sortali (ikat kepala).
Sebelum meninggalkan Huta Siallagan, layaknya di berbagai destinasi wisata lain, terdapat deretan kios yang menawarkan cinderamata khas Batak yang dapat dibeli oleh pengunjung.
Dalihan Na Tolu
Huta Siallagan sebagai peninggalan budaya menggambarkan nuansa budaya masyarakat Batak. Banyak dari masyarakat Batak yang pergi merantau ke berbagai daerah, namun nilai-nilai tradisi dan adat istiadat tetap dipegang teguh dimanapun mereka berada.Â
Falsafah hidup masyarakat Batak yang dipegang erat yaitu dalihan na tolu. Dalihan na tolu merupakan pilar kehidupan yang terdiri dari tiga kaki tungku yaitu hula hula, anak boru, dan dongan tubu, yang menggambarkan sikap kesatuan hati, kebersamaan, dan saling menghargai. Hal inilah yang membentuk pola hidup dan karakter masyarakat Batak.
Huta Namartuai