Mohon tunggu...
yustinus yubileo
yustinus yubileo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Filsafat

Karena kasih-Nya kekal selamanya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"I-Thou" Martin Buber untuk Masyarakat yang Inklusi (Suatu Tulisan untuk Memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional)

5 Oktober 2021   11:54 Diperbarui: 5 Oktober 2021   15:20 1594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Editor: Josephine Kintan

Latar Belakang

Kehidupan sosial saat ini terbilang sangat kompleks dan manusia selalu memiliki hubungan timbal balik dengan sesama manusia untuk menciptakan hubungan yang harmonis. Thomas Hobbes pernah mengatakan bahwa manusia memiliki daya gerak yang agresif dan jahat terhadap orang lain. 

Pernyataan Hobbes ini menegaskan bahwa kita hidup secara harmonis dan penuh kebahagiaan adalah hal yang susah dan perlu adanya perjuangan untuk mewujudkan hidup yang harmonis dengan sesama manusia.

Permasalahan semacam ini sering kita jumpai dalam kehidupan kita. Keretakan keharmonisan yang terjadi merupakan ketidakseimbangan dalam hidup sosialnya. Memang, kita tidak mengharapkan adanya disharmoni dalam berelasi, namun kesadaran masyarakat akan hidup yang harmonis masih kurang.

 Lantas timbul pertanyaan, "Siapakah yang dapat menyelamatkan dan membantu kita?" Jawabannya ialah manusia itu sendiri. Manusia yang memiliki akal budi dan kehendak untuk dapat membantu manusia lain.

Namun sayang, yang seharusnya manusia dapat melindungi, menjaga dan menghargai manusia lainnya, tetapi tidak dalam kasus anggota TNI di Papua yang melakukan tindak kekerasan terhadap teman difabel yang ramai diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat mengkritisi dan menayakan di manakah kemanusiaan kita terhadap sesama? 

Hal ini disebabkan karena sikap 2 anggota TNI yang menginjak kepala salah seorang masyarakat Papua yang mana adalah teman Tuli. Posisi korban pada saat itu diduga sedang mabuk dan dimintai keterangan, lantas korban memberikan penjelasan dengan menggunakan bahasa isyarat, namun anggota TNI tersebut mengabaikannya dan menelungkupkannya di trotoar lalu menginjak kepala korban.

Dari kasus tersebut, penulis berpikir, bahwa pemikiran Martin Buber "Aku-Engkau" menjadi jembatan untuk dapat menyelesaikan masalah ini. Penulis juga kaitkan teori ini dengan teman difabel khususnya Teman Tuli. Hal ini bertujuan untuk mengangkat eksistensi teman Tuli yang mana sama-sama manusia ciptaan Tuhan. Maka dari itu, teori "Aku-Engkau" ini membantu penulis untuk bersikap inklusif terhadap teman Tuli.

Martin Buber

Martin Buber ialah seorang filsuf Yahudi yang terkenal pada masanya yang lahir pada tahun 1878 di Wina, Austria. Buber banyak menghabiskan waktunya untuk menjawab pembicaraan tentang Yudaisme, seperti "mengapa kita disebut orang Yahudi?" 

Dalam pembicaraan inilah elemen mistik masih ia lontarkan, namun kemudian Buber mengalihkan gagasan tentang hubungan mistik manusia dan Tuhan dengan gagasan filosofisnya. Kemudian ia membuat sebuah karya Ich und Du pada tahun 1923. Menurutnya, hubungan Aku-Engkau (subjek-subjek) merupakan hubungan yang sehat. Karyanya ini membuat namanya semakin termasyur.

Ich und Du Martin Buber

Buber dalam karyanya itu, menjelaskan bahwa manusia memiliki dua relasi yang berbeda, yaitu: pertama, relasi manusia dengan manusia, kedua, relasi manusia dengan benda. Relasi manusia dengan manusuia disebut Ich-Du (I-Thou) atau Aku-Itu sedangkan relasi manusia dengan benda disebut Ich-Es (I-It) atau Aku-Engkau.

Buber menjelaskan bahwa relasi Aku-Itu menandakan manusia yang menggunakan, menysusun bahkan memperalat benda-benda secara sepihak dan semuanya ini berarti dikategorikan sebagai kepemilikan maupun kekuasaan.

Sedangkan dalam relasi Aku-Engkau, Buber menggarisbawahi bahwa manusia tidak akan pernah tanpa relasi. Sebab, manusia memiliki kodrat untuk berelasi atau "yang lain". Maka dari itu manusia disebut sebagai makhluk sosial, karena manusia tidak bisa hidup sendiri dan manusia ada bersama yang lain.

Relasi Aku-Engkau menurut Buber berarti Aku menyapa Engkau serta Engkau menyapa Aku. Buber mengartikan bahwa Aku tidak menggunakan Engkau, melainkan Aku menjumpai Engkau. Perjumpaan ini mencipatakan dialog sejati. Aku dan Engkau bukanlah makhluk yang asing, melainkan sama-sama manusia yang hidup dan tinggal di alam yang sama dan memiliki kemampuan untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Buber menjelaskan bahwa kehadiran Engkau adalah sebagai rahmat bagiku dan kehadiranku adalah rahmat bagimu, sehingga Aku menjadi Aku karena Engkau dan begitu pula sebaliknya. Antara Aku dengan Engkau selalu membangun hubungan yang berahmat. Oleh sebab itu, relasi Aku-Engkau mencerminkan sikap keterbukaan diri dan kebebasan sebagai pribadi yang manusiawi.

Relasi Aku-Engkau sebagai pribadi manusia menunjukkan kesubjektivitasannya yang mana bertujuan untuk membangun nafas kehidupan abadi. Sehingga antara Aku dan Engkau menjadi sadar bahwa kita adalah makhluk yang bersama, oleh karena kita saling mengenali satu sama lain.

Keberadaan Aku dan Engkau diibaratkan sebagai pasangan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai pasangan yang dimaksudkan ialah di mana Aku dan Engkau bersinergi untuk saling bereksistensi.

Bagi Buber, relasi Aku dan Engkau adalah ranah di mana membangun hubungan timbal balik bukan sebagai pengekangan satu sama lain dan ia juga menolak adanya individualisme dan kolektvitas yang membuat manusia terisolasi sehingga hakikat manusia ialah berhubungan dengan manusia lain. 

Relasi ini juga mengisyaratkan manusia bahwa manusia dan sesamanya merupakan satu kesatuan eksistensi yang mana manusia mengikutsertakan keseluruhan eksistensi sesamanya di dalam sebuah dialog.

Relasi Aku-Engkau menandakan bahwa adanya relasi interpersonal yang tidak diintervensi oleh apapun. Relasi ini adalah relasi yang langsung dan tanpa adanya mediasi oleh siapapun, Sehingga relasi ini bukanlah alat untuk objek namun relasi agung diantara subjek-subjek.

Buber menambahkan bahwa diantara Aku dan Engkau memiliki cinta. Bukan cinta subjek kepada objek tetapi cinta subjek-subjek untuk saling melindungi, menghargai. Cinta dalam relasi ini sangatlah penting di mana antara Aku dan Engkau berbagai rasa pengertian, kepekaan, respek, dan tanggung jawab.

Teman Tuli

Sering kali kita salah kaprah, membedakan Tuli dengan disabilitas pendengaran. Dari pandangan identitas budaya, Tuli dengan "T" kapital ialah sekelompok orang yang bangga mempunyai budaya dan identitas sendiri yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). BISINDO adalah bahasa dan bukanlah suatu sistem atau alat bantu sehingga bukan sebagai disabilitas. 

Sedangkan dari segi patologis, tunarungu atau disabilitas pendengaran atau Hard of Hearing (HoH) adalah seorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar, baik itu sebagian maupun seluruhnya yang diakibatkan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran yang mana memakai alat bantu dengar dan menggunakan bahasa ibunya ialah bahasa Indonesia. Alhasil orang bisa mendengar belum tentu paham apa yang ia dengar, seakan sebuah suara namun tanpa adanya makna.

Saat ini,  teman Tuli dan pegiat BISINDO sedang memperjuangkan dan lebih memilih menggunakan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) dibandingkan dengan SIBI (Sistem Bahasa Isyarat Indonesia) sebab BISINDO merupakan bahasa yang berkembang secara alami di kelompok Tuli Indonesia dan bahasa yang diciptakan oleh Teman Tuli itu sendiri sebagai perwujudan hak bahasa dan lingustik. 

Sedangkan SIBI adalah sebuah sistem bahasa yang mempresentasikan bahasa lisan Indoensia ke dalam gerakan tertentu dan SIBI diciptakan oleh orang dengar tanpa melibatkan perspektif Tuli. 

Padahal BISINDO sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka, namun karena literatur, kajian dan penelitian yang minim sehingga BISINDO kurang populer di kalangan masyarakat secara luas serta pemerintah. 

Alhasil pemerintah menciptakan sistem sistem sendiri yang disebut sebagai SIBI. Sayangnya pemerintah tidak melibatkan teman Tuli dalam proses pembuatannya dan kemudian pemerintah mengesahkan SIBI sebagai sistem yang digunakan di sekolah luar biasa yang mana malah eksklusif dan jauh dari kata inklusif untuk teman Tuli. Teman Tuli sulit menerima ini karena bukan wujud pemenuhan hak bahasa dan linguistik. sebab antara SIBI dan BISINDO berbeda jauh.

Foto-Lifestyle-Bahasa-Isyarat.jpg (900600) (mediapijar.com) 
Foto-Lifestyle-Bahasa-Isyarat.jpg (900600) (mediapijar.com) 

BISINDO memiliki grammar yang berbeda dibandingkan dengan grammar SIBI, sebab grammar BISINDO bersifat intuitif atau naluriah bagi pemakai BISINDO yang Tuli dengan cara yang sama grammar bahasa lisan ialah naluriah bagi pembicaranya. 

Sedangkan grammar SIBI mengikuti tata bahasa Indonesia yang mudah dipelajari oleh guru dan orang tua dengar namun tidak naluriah bagi teman Tuli. Oleh sebab itu, SIBI banyak dikritik karena anak yang diajarkan SIBI menjadi semi-lingual atau bahkan non-lingual.

Maka pentingnya untuk kita semua dapat mengakui BISINDO sebagai bahasa isyarat yang digunakan oleh teman Tuli sebagai bahasa yang memenuhi kebutuhan komunikasi sehari-hari serta bahasa yang menjadi dasar untuk budaya Tuli. Hak linguistik teman Tuli adalah dapat menggunakan bahasa isyarat yang lahir dan berkembang secara alami dari komunitas teman Tuli itu sendiri.

Analisis

Topik mengenai kemanusiaan menjadi sebuah hal yang menarik untuk dibahas dan direnungkan bersama. Sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang mana manusia saling membutuhkan satu sama lain. Aristoteles (384-322 SM) mengatakan bahwa hubungan antara pribadi tidaklah terjadi secara kebetulan ataupun tiba-tiba dan tidak dapat disingkirkan. 

Maka, manusia hidup dalam relasi sosial yang kuat. Tujuan dari relasi sosial adalah kehidupan yang baik, di mana terpenuhinya kebutuhan dasar manusia dan di dalamnya manusia dapat mengembangkan potensi.

John Locke (1632-1704) mengatakan bahwa keadaan alamiah manusia berarti keadaan harmonis yang ditandai dengan persamaan hak dan kebebasan manusia sehingga manusia memiliki kebebasan dan kesetaraan dalam segala hal. Lantas, dalam fenomena teman Tuli di Papua yang diinjak oleh anggota TNI menunjukkan adanya kebebasan, kesetaraan, harmoni? Tentu Tidak! Malahan apa yang dilakukan oleh anggota TNI tersebut mematikan eksistensi teman Tuli yang mana adalah manusia. Tindakan tersebut menunjukkan bahwa adanya pelanggaran hak asasi manusia yang mana hak asasi manusia ini seharusnya mendapatkan posisi tertinggi guna menghargai manusia.

Dalam kasus tersebut, sebenarnya korban sudah menjelaskan kejadian yang sebenarnya dengan menggunakan bahasa isyarat, namun sayangnya sikap anggota TNI yang seakan acuh dan langsung menginjak kepala korban. Dari sini tampak sangat jelas bahwa masih kurang sadarnya masyarakat umum terhadap teman Tuli. Padahal teman Tuli juga manusia.

Lantas teori Aku-Engkau Martin Buber mengajak kita untuk sadar bahwa membangun relasi dengan siapapun itu penting, termasuk dengan teman Tuli. Manusia ialah Aku yang berelasi dan berkomunikasi dengan Engkau. Manusia menjadi sadar bahwa adanya Aku oleh karena adanya Engkau, maksudnya ialah Aku dan Engkau saling membantu, menghargai dan berproses bersama.

Alhasil, kita perlu membangun relasi interpersonal dengan teman Tuli. Buber menegaskan bahwa agar relasi sosial berjalan dengan cara manusiawi, diperlukan kemampuan mengatasi keegoisan kita menuju altruis sehingga hidup kita terarah pada yang lain bukan mementingkan diri sendiri. Sehingga membangun relasi dengan teman Tuli merupakan bentuk kasih sayang kepada sesama.

Membangun inklusivitas dengan teman Tuli merupakan bentuk kesadaran manusia untuk mau belajar, memahami teman Tuli, budaya Tuli. Lantas mengapa begitu penting penting membangun infklusif ini? Ya, inklusif diartikan sebagai kebebasan, keterbukaan, tidak memandang rasa kasihan dan tidak bertindak secara diskriminatif. Sebab, masih banyak orang yang tidak sadar dan termakan stigma serta tidak mampu menciptakan lingkunganb yang aksesibel dengan memojokkan, men-judge, alhasil yang terjadi adalah teman difabel tidak ada akses untuk berkembang, tidak ada ruang gerak kebebasan dan kesempatan untuk berjuang.

Alhasil, sebagai sesama manusia, sangat penting untuk memahami budaya Tuli, supaya tidak ada lagi kejadian-kejadian yang memarjinalkan teman Tuli. Budaya Tuli diantaranya, memiliki nama isyarat, berkenalan dan berpisah panjang, saling bertatap muka dan memperhatikan. 

Selain itu, ketulian teman Tuli tidak perlu diperbaiki atau disembuhkan, sebab teman Tuli mempunyai budaya sendiri dan jangan disamakan dengan perspektif medis bahwa harus disembuhkan. Selama ini, masyarakat masih menilai bahwa teman Tuli harus disembuhkan. Selain itu, dalam hal berkomunikasi, teman Tuli menggunakan bahasa isyarat dan tidak ada bukti yang mengatakan bahwa bahasa isyarat dapat merusak kemampuan berbicara, malahan bahasa isyarat ini menjadikan teman Tuli dan teman dengar semakin inklusi. Maka, pentingnya memahami budaya Tuli, supaya aksesibilitas untuk teman Tuli tidak tertutup. Hal ini memungkinan kita semua untuk sadar akan kekayaan budaya Tuli. Tentu saja, bahasa isyarat yang dikembangkan akan sangat penting untuk memastikan perkembangan linguistik dan kognitif teman Tuli yang maksimal sehingga akses untuk bersosialisasi menjadi terbuka lebar dan dalam lingkungan masyarakat, pendidikan, pekerjaan atau apapun itu menjadi inklusif. Selain itu rasa persaudaraan akan berkembang kala teman dengar membntuk jaringan sistem pendukung untuk memberikan kemampuan dan kesempatan berdiskusi, mengungkapkan pemikirannya masing-masing dan adanya timbal balik.

Berbicara mengenai bahasa Isyarat, teman Tuli menggunakan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) ketimbang Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI) sebab BISINDO adalah identitas budaya linguistik dari teman Tuli. Maka, perlunya kesadaran dari masyarakat luas untuk mau belajar bahasa isyarat, sehingga bukan hanya sebatas membangun relasi, tetapi juga mengangkat eksistensi teman Tuli yang adalah manusia. Sehingga sesama manusia dapat membangun inklusif. Inklusif adalah bentuk Aku menyambut, merangkul, membuka tangan dan bersama-sama dengan Engkau. Alhasil, dengan membangun relasi dengan teman Tuli salah satunya dengan belajar BISINDO adalah manusia yang altruis.

Pengalaman penulis berelasi dengan teman Tuli dan berlatih BISINDO merupakan pengalaman yang mengesankan. Penulis merefleksikan pengalaman ini sebagai perjalanan cinta kasih. Buber mengatakan bahwa relasi interpersonal didasari oleh adanya cinta kasih, maka dengan belajar BISINDO dan berelasi dengan teman Tuli menyadarkan penulis bahwa Aku bersama dengan Engkau membentuk eksistensi bersama. Memang dalam belajar BISINDO butuh komitmen untuk terus mau belajar dan terbuka terhadap pemahaman baru, hal ini membaut penulis menjadi antusias untuk terus belajar kosakata isyarat baru.

Membahas mengenai bahasa isyarat, sangat disayangkan apabila masyarakat masih menganggap bahwa bahasa isyarat adalah bahasa tarzan yang primitif. Oleh sebab itu, George William Veditz mengatakan "As long as we have Deaf people on Earth, we Will have signs." Maka perlunya kesadaran dari teman dengar untuk mau belajar bahasa isyarat dan bukan untuk menjatuhkan teman Tuli. Berkaitan dengan itu, setiap tanggal 23 September, dunia memperingati sebagai Hari Bahasa Isyarat Internasional. Peringatan ini menjadi momentum untuk kita semua melindungi, mendukung identitas dan budaya Tuli, namun bukan hanya saat peringatan ini saja, tetapi setiap harinya perlu untuk kita mendukung dan melindunginya. Sebab, kalau kita mendukung berarti sama dengan membukakan aksesibiltas teman Tuli untuk semakin berkembang, bertumbuh, berkreasi dan terlibat dalam berbagai kegiatan.

Daftar Pustaka

Sumber Buku

Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Jilid I Inggris & Jerman, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014.

Buber, Martin, I and Thou (Terj. Walter Kaufmann), New York: Charles Scriber Sons, 1970.

Riyanto, Armada, Relasionalitas Filsafat Fondasi Interprtasi: Aku, Tekas, Liyan, Fenomen, Yogyakarta: PT Kanisius, 2018.

Sumber Internet

Nilawaty, Cheta, Formasi Disabilitas Kecam Kekerasan Anggota TNI AU kepada Difabel di Papua, 28 Juli 2021, https://difabel.tempo.co/read/1488225/formasi-disabilitas-kecam-kekerasan-anggota-tni-au-kepada-difabel-di-papua (diakses pada 13 September 2021 pk 20.21).

Famous Philosphers, Martin Buber, https://www.famousphilosophers.org/martin-buber/ (diakses pada 13 September 2021 pk 20.23).

Plaspalisnsome, Relasi Aku-Engkau Menurut Martin Buber, 25 September 2012, https://www.kompasiana.com/plaspalvongreccio/5517dd04a333113407b65f6c/relasi-aku-engkau-menurut-martin-buber#:~:text=Tema%20utama%20Buber%20ialah%20bahwa,Itu%20(I-It)  (diakses pada 13 September 2021 pk 20.25).

Perdana, Denza, Memahami Orang Tuli, Bukan Tunarungu, 28 Januari 2019, https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2019/Memahami-Orang-Tuli-Bukan-Tunarungu/ (diakses pada 15 September pk 14.15).

Nilawaty, Cheta, Bahasa Isyarat SIBI dan BISINDO, Tilik Perbedaannya, 11 Juli 2018, https://difabel.tempo.co/read/1105916/bahasa-isyarat-sibi-dan-bisindo-tilik-perbedaannya/full&view=ok (diakses pada 15 September 2021 pk 14.17).

Sumber Jurnal

Morgan, W. J. & Alexandre Guilherme, "I and Thou: The educational lessons of Martin Buber's dialogue with the conflicts of his times ", Educational Philosophy and Theory, 2010.

Flescher, Flavia, Rachel Friedman Narr and Will Garrow, Why Deaf Education Matters: Including Deaf Students with Disabilities, Odyssey, Vol. 21, 2020.

Sumber Paper

Palfreyman, Nick, Budaya tuli Indonesia dan hak bahasa, Paper Seminar Tahunan Linguistik 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun