Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makang ‘Tinu’ di Samarinda

4 Juni 2015   12:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:22 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

“Lagi di mana mas, sarapan bubur yuk,”

 “Bubur apa?”

“Bubur Manado, depan RRI samping Indomaret”

“Woke, OTW”

Itu percakapan antara saya dan seorang teman lewat messenger beberapa bulan lalu. Dan untuk kali pertama setelah hampir 13 tahun tinggal di Samarinda saya menikmati bubur Manado di luar Sulawesi Utara.

Sebagai orang yang lama tinggal di Minahasa dan Manado, saya kurang puas dengan penampilan dan rasa bubur Manado di warung yang ditunjukkan oleh teman saya itu. Dan ketika saya sampaikan pada teman itu, dia menceritakan bahwa pemilik warung belajar membuat bubur Manado dari anak-anak Manado yang kost di rumahnya.

Ketika murid kelas 6 SD menjalani ujian akhir, anak saya yang duduk di kelas 3 libur. Suatu waktu menjelang makan siang, dia mengatakan ingin makan di rumah makan Manado. Ada beberapa rumah makan Manado di Samarinda, tapi yang menarik perhatian saya adalah rumah makan Matuari di Jalan Flores Samarinda. Saya ajak anak saya kesana.

Pada kesempatan pertama saya memesan bebek bumbu RW, ikan bakar dengan sayur pahit (campuran pakis dan bunga papaya) dan rica rodo. Dari tampilan dan rasa, makanan yang disajikan mampu melahirkan nostalgia, kenangan akan rasa dan bumbu yang kaya dari masakan Minahasa.

Saat menyantap makanan yang disajikan, masuklah serombongan ibu-ibu beserta anak-anaknya. Telinga saya sempat menangkap makanan yang dipesan, salah satunya adalah tinutuan dan miedal. Ketika pesanan diantar, saya melihat tampilan tinutuan atau bubur Manado yang menarik di mata. “Wah, ini baru tinutuan,” guman saya dalam hati.

Rupanya yang tertarik dengan penampilan bubur Manado bukan hanya saya melainkan juga anak saya. Akhirnya keesokan harinya kami kembali ke RM Matuari untuk makan siang dengan menu bubur Manado atau Tinutuan. Anak saya memilih Tinutuan porsi kecil, sementara saya memilih miedal juga porsi kecil. Miedal adalah Tinutuan yang ditambah dengan mie basah. Luar biasa, anak saya yang belum lama sembuh dan diopname di rumah sakit karena DBD ternyata melahap tuntas sepiring Tinutuan yang baru pertama kali disantapnya.

Tinutan atau kemudian lebih dikenal sebagai bubur Manado adalah salah satu penanda eksotika Kota Manado. Ketika bicara Manado orang kerap menyebut 4 B yang merupakan kependekan dari Bunaken, Boulevard, Bubur dan Bibir Manado. Konon buat laki-laki kalau datang ke Manado tanpa menikmati ke 4 B itu maka tak lengkap rasanya.

Bicara soal bubur Manado atau Tinutuan sebenarnya adalah makanan Minahasa jadi harusnya disebut sebagai bubur Minahasa. Namun kemudian justru lebih dikenal sebagai bubur Manado, mungkin karena Manado adalah ibukota propinsi Sulawesi Utara. Atau karena di Kota Manado sebagian besar warganya beretnis Minahasa. Dan pada dasarnya yang menyebut diri sebagai orang Manado ketika berkenalan dengan orang lain adalah orang dari Kota Manado dan sekitarnya yakni Minahasa, Bitung bahkan hingga Sangihe, Talaut dan Sitaro.

Bubur Manado dalam bahasa lokal disebut sebagai Tinutuan. Tinutuan berasal dari kata dasar ‘tuutu’ yang artinya nasi atau bubur. Jadi tinutuan secara harafiah adalah ‘dijadikan bubur’. Orang Minahasa gemar menyingkat kata, maka tinutuan sebutan populernya adalah ‘tinu’. Mereka kerap mengatakan “Mari jo makang tinu,” atau “Besok pigi ta pe rumah ne, torang rame rame beking tinu,”.

Etnis Minahasa sebenarnya terdiri dari beberapa sub-etnis. Maka ada beberapa sebutan lain untuk Tinutuan atau bubur Manado. Orang Tondano menyebut sebagai Sinede’an dan orang Minahasa Selatan menyebutnya sebagai Peda’al.

Bubur Manado atau Tinutuan ternyata juga mengalami perkembangan, tahun 80’an muncul varian baru yang disebut dengan miedal atau Mie plus Peda’al. Bubur Manado atau Tinutuan ditambah dengan mie basah. Dan kemudian tahun 90’an, teman makan tinutuan bertambah, bukan hanya perkedel nike (ikan seperti teri dari Danau Tondano), cakalang fufu goreng dan ikan asin, melainkan juga tahu goreng.

Selain lauk, bubur Manado lebih sedap disantap dengan sambal atau dabu-dabu. Menyantap bubur Manado dengan sambal bakal membuat badan berkeringat. Dulu ketika di Manado saya sering mendengar gurauan, “Nyanda makang kalo nyanda basuar” atau “belum makan namanya kalau tidak berkeringat,”. Makan memang penting, karena itu muncul juga gurauan untuk anak-anak, “Biar jo bodok di sekolah asal pande makang,” atau ‘biar saja bodoh di sekolahan yang penting pandai makan,”.

Ada banyak jenis dabu-dabu untuk teman makan tinutuan. Yang paling popular adalah dabu dabu roa (ikan roa kering) dan sambal bakasang (sejenis terasi cair).

Bubur Manado adalah makanan sehat. Itu disampaikan oleh senior saya ketika mem-briefing saya dan teman-teman sebelum berangkat untuk sekolah di Pineleng, Minahasa. Dia mengatakan jangan melihat modelnya yang maaf kata dia seperti makanan kuda atau ee’ bayi.

Bubur Manado termasuk kategori makanan sehat dan cocok untuk mereka yang diet karena bahan-bahannya lebih banyak sayuran.  Tinutuan atau bubur Manado sebenarnya terdiri dari dua yaitu bubur dan sayuran. Bubur dibuat dari sedikit beras, pipilan jagung, labu kuning dan ada pula yang menambahkan ubi kayu. Sementara sayurannya adalah daun gedi, kangkung, bayam, namun ada pula yang menambah dengan sayur paku dan daun pepaya bila suka pahit.

Bubur di masak lebih dahulu, setelah jadi baru ditambahkan sayur. Sayur dimasak dalam bubur tidak lama sehingga terlihat masih hijau dan ‘kriuk-kriuk’ ketika dikunyah.

Dulu bubur Manado adalah makanan untuk sarapan. Namun dalam perkembangannya kini bubur Manado tersedia sepanjang hari. Memasuki tahun 2000-an di Manado ada warung atau rumah makan yang dalam daftar menunya mencantumkan bubur manado. Dan bubur Manado tak identik lagi dengan menu untuk sarapan pagi. Padahal sebelumnya makan bubur Manado di siang atau sore hari bakal dianggap aneh bin ajaib. Warung-warung bubur Manado di Wakeke misalnya jam 11 siang pasti sudah tutup.

Kini selain rica-rica ayam dan bebek, bubur Manado menjadi sumbangan Minahasa dalam khasanah kuliner Nusantara. Jadi tak perlu lagi pergi ke Manado untuk menyantap masakan Minahasa yang kaya rasa. Pertama selain lebih murah juga untuk mencegah agar para laki-laki cukup menyantap bubur Manado saja  tanpa mencoba untuk mencicipi bibir Manado.

@yustinus_esha

 

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun