Semalam saya menerima telepon dari seorang kawan pemantau. Apa yang disampaikan adalah temuan adanya pengelembungan suara dalam sebuah perhitungan ulang. Katanya, jumlah suara lebih banyak dari DPT dan ada mobilisasi masa yang tidak tercatat sebagai pemilih di tempat itu, tidak pula menggunakan tanda pengenal yang resmi untuk ikut memilih.
Apa yang mengherankan buat saya adalah kelakuan baik dari panitia pemunggutan suara dan perekayasa suara untuk melakukan hal yang diceritakan kawan saya tadi. Yang namanya pemunggutan suara ulang pasti menjadi perhatian dari pengawas pemilu. Dan benar menurut kawan saya tadi, temuan tadi sudah dicatat oleh pengawas pemilu dan kemungkinan besar besok hari akan dilakukan lagi pemilihan ulang.
Pemilu sesungguhnya adalah puncak kedaulatan rakyat. Suara rakyat menentukan masa depan bangsa. Satu suara amatlah berarti, maka setiap orang dihimbau untuk menggunakan hak suaranya, menyisihkan sedikit waktu, untuk masa depan bersama.
Namun disana-sini sesungguhnya terjadi banyak ironi. Betapa suara masyarakat dianggap tidak berharga, dipermainkan. Dikurangi dari sisi sini, ditambahkan ke sisi sana. Otak atik suara menjadi semacam kelaziman di tingkatan paling bawah penyelenggaraan pemunggutan suara.
Ketika banyak pihak bicara soal partisipasi yang perlu ditingkatkan, himbauan jangan golput, ternyata ada sebagian yang berharap mereka yang tercatat dalam DPT dan tidak datang untuk menggunakan hak suaranya. Jumlah mereka yang tidak datang itulah yang menjadi tabungan suara. Dicobloskan oleh pihak tertentu dan suaranya diberikan kepada peserta pemilu tertentu.
Dan berita yang saya saksikan di sebuah stasiun televisi mengkonfirmasi soal otak-atik suara. Dimana petugas di tingkat TPS, Kelurahan dan Kecamatan memainkan suara, menyulap, mengeser dari satu caleg ke caleg lainnya. Tak heran jika kemudian ada sejumlah kotak suara yang disandera oleh oknum caleg dan pendukungnya yang merasa dirugikan. Ada pula petugas PPK yang kemudian diamankan karena kepergok melakukan aksi geser suara.
Suara masyarakat yang merupakan representasi dari mandat untuk diberikan kepada wakilnya ternyata menjadi komoditas ketika sudah dihitung. Kenapa hal ini terjadi?. Tentu saja karena ada niat sejak awal dan juga peluang. Niat tentu saja datang dari para caleg yang tidak cukup percaya diri untuk memperoleh suara dengan cara menarik simpati pemilih. Dan kemudian bertemu dengan panitia pelaksana pemilu yang berniat mencari keuntungan dari fungsi dan kedudukannya. Namun niat itu bisa juga datang dari tim pemenangan, konsultan politik yang ingin membangun karier, menulis CV bahwa dirinya dan tim adalah kelompok yang sukses mengantar seseorang menjadi pemenang.
Apakah semua kejadian ini terkait dengan tata cara atau standard pelaksanaan pemunggutan dan perhitungan suara yang rendah. Sebenarnya tidak, tatacara pemunggutan suara dan perhitungannya sudah disusun dalam sistem yang diharapkan mampu mencegah kecurangannya. Persoalan di lapangan adalah penerapan. Ambil contoh saja soal DPT, yang kebanyakan tidak dipasang. Sehingga warga tidak tahu berapa jumlah pemilih di tiap TPS.
Tidak semua panitia pemunggutan suara tertib dalam melakukan absen terhadap pemilih. Pemilih yang datang hanya diberi nomor antre, lalu dipanggil tetapi tidak mengisi daftar hadir. Panitia hanya memberi tanda di daftar pemilih tetap, yang tentu saja susah untuk dicek kebenarannya.
Mutu pemilu sebenarnya juga tergantung kepada saksi dari masing-masing partai yang jumlahnya sesuai dengan jumlah partai peserta pemilu. Mereka yang menjadi garda depan untuk menjaga agar pemilu berlangsung sesuai dengan azas. Namun kebanyakan saksi adalah orang-orang comotan, ditunjuk begitu saja tanpa persiapan yang cukup dan ternyata tak semua partai mempunyai saksi di semua TPS. Saksi seolah hanya bertugas menulis perolehan suara belaka.
Kondisi semacam inilah yang terus memelihara kencenderungan untuk memainkan suara. Kelengahan atau kelemahan beberapa pihak menjadi celah dari pihak lainnya untuk memainkan perolehan suara. Suara pemilih selalu berharga, namun harga itu menjadi berbeda maknanya pada berbagai pihak. Secara moral politik, suara pemilih adalah representasi dari kedaulatan rakyat, namun di tangan kartel suara, pilihan rakyat hanyalah angka yang bisa dirupiahkan.
Maraknya kejadian pengelembungan suara, otak atik, gese mengeser menjadi pertanda bahwa kualitas pemilu masih merupakan tantangan dalam kehidupan demokrasi di negeri ini. Mereka yang seharusnya menjaga agar pemilu berlangsung taat azas justru kerap berlaku sebagai pihak yang menciderai kemurnian dan kesucian pemilu. Maka ke depan perlu sebuah upaya yang lebih keras serta tindakan yang lebih tegas untuk mereka yang menciderai pemilu. Bukan saja hukuman fisik melainkan juga hukuman moral dimana dalam pemilu-pemilu berikutnya mereka tidak boleh terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, termasuk juga sebagai peserta pemilu.
Pondok Wiraguna, 12 April 2014
@yustinus_Esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H