Libur akhir tahun telah usai. Semua telah kembali ke aktivitas masing-masing dengan semangat yang baru di tahun baru 2019 ini. Setelah selesai dengan hiruk-pikuk liburan, mengharubirunya romantisisme, merebaknya spot-spot selfie yang instagrammable serta wahana rekreasi dan kuliner baru, rupanya ada sedikit kisah yang tersisa dari Kota Yogyakarta dan wilayah-wilayah lain di Provinsi DIY yang selama ini termasuk menjadi daerah tujuan wisata favorit.
Tak lain dan tak bukan adalah masalah sampah.
Iya, sampah di kota Yogyakarta dan DIY cenderung mengalami kenaikan volume selama musim liburan, entah itu liburan akhir tahun seperti kemarin atau libur lebaran. Kenaikan volume sampah mencapai 15 persen dibanding hari biasa. Pada hari biasa, volume sampah di Kota Yogyakarta adalah 240 ton tetapi kini bisa mencapai 255-260 ton per hari (DLH Kota Yogyakarta, 2018).
Yogyakarta senantiasa membuka diri terhadap kunjungan wisatawan, namun beberapa hal termasuk masalah sampah ini terlambat diantisipasi. Bukan sekadar penyediaan sarana prasarana di ruang-ruang publik destinasi wisata, karena toh ketika musim liburan seperti kemarin, mengakibatkan luberan sampah karena tempat sampah tidak mampu menampung lagi.Â
Fenonema seperti ini jamak ditemui di sepanjang Jalan Malioboro hingga Pasar Beringharjo. Akibatnya, ceceran sampah biasanya mengotori trotoar yang saat ini telah menjadi jalur pedestrian bagi pengunjung, mulai dari kantong plastik, sedotan, bungkusan makanan kemasan, botol atau gelas air mineral dan sebagainya. Tentunya menjadi pemandangan yang tidak sedap bagi semuanya.
Baru-baru ini, perayaan tahun baru di Alun-alun Utara (Altar Kota Yogyakarta), juga menyisakan persoalan yang serupa. Budaya bertanggung jawab terhadap sampah pribadi masih belum dikenal, sehingga sisa sampah pengunjung banyak ditemui keesokan harinya. Beberapa pegiat dan relawan rela bekerja untuk membersihkan kawasan altar yang merupakan wajah Kraton Yogyakarta ini.
Selama ini, Pemda DIY masih menggunakan metode kumpul-angkut-buang untuk pengelolaan sampahnya. Strategi dan kebijakan yang seperti ini sebenarnya tidak cukup update untuk mengatasi persoalan sampah yang semakin hari volumenya semakin naik, berbanding lurus dengan pertambahan populasi. Belum lagi ketika dihadapkan pada musim liburan, di mana jumlah populasi orang yang berada di wilayah DIY pasti meningkat.
Khusus di Malioboro, kebersihan sudah menjadi tanggung jawab Unit Pelaksana Teknis (UPT) Malioboro, di mana pada musim liburan disiagakan sebanyak 12 personil yang berganti tugas tiap 6 jam untuk membersihkan kawasan Malioboro. Untuk kawasan di luar Malioboro, diperlukan strategi jitu agar persoalan sampah di ruang publik ini tidak mengotori wajah kota.
Membuang sampah adalah persoalan perilaku, budaya. Meningkatnya pendapatan dan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat urban, dan perubahan gaya hidup yang ditandai dengan terjadinya pergeseran nilai budaya dari hidup yang hemat dan sederhana ke arah gaya hidup hedonisme dan pragmatisme menyebabkan masyarakat urban cenderung semakin boros.Â
Akibatnya produksi sampah pun juga cenderung meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya. Kemajuan teknologi juga cenderung menambah volume dan kualitas sampah yang dihasilkan, karena pemakaian bahan baku dan cara pengepakan (pengemasan) semakin beragam dan produk manufaktur yang semakin beragam pula, termasuk produk yang sifatnya sekali pakai langsung buang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H