Siang tadi, selepas menikmati kuliner sate klathak yang legendaris di Imogiri Timur, Pleret Bantul, perjalanan santai kami bersama anak-anak berakhir di Museum Pleret. Secara tak sengaja kami menemukan kompleks museum ini, karena memang kami jarang melintas di daerah Pleret.Â
Hari ini tadi bersamaan dengan liburan sekolah anak-anak dan kami sedang cuti bersama. Awalnya tak yakin apakah museum beroperasi, mengingat banyak instansi yang hari ini libur, tapi kami tetap saja penasaran dan sepakat menghentikan kendaraan di pinggir jalan depan museum.Â
Dari rasa ingin tahu, kami memutuskan untuk masuk ke halaman museum dan ternyata kami disambut oleh petugas security dan Mbak Afi, staf museum yang kemudian menjadi tour guide kami...alhamdulillah.
Tak lama kemudian, Mbak Afi menemani kami berkeliling museum. Meski sepi pengunjung, Mbak Afi tetap semangat menjelaskan koleksi museum dan di bagian akhir perjalanan, kami disuguhi video dokumenter yang menceritakan sejarah Kerajaan Mataram Islam di Jawa, yang kemudian menjadi narasi yang saya tuliskan di K kali ini.
Penduduk setempat masih mengenalnya sebagai bekas danau buatan. Nama tempat itu pun menggambarkan hal yang sama, sebab segara berarti laut dan yasa berarti membuat. Segarayasa yang sekarang ini menjadi perkampungan itu sebagian berupa cekungan, terutama bagian yang memanjang di tepi sungai.
Keberadaan bendungan buatan ini dituliskan dalam beberapa laporan, yaitu Babad Momana, Babad Ing Sengkala dan sebuah sumber dari Belanda, yaitu Daghreister 7 Juli 1659.Â
Menurut Inajati Adrisijanti (Arkeolog UGM) dalam film dokumenter yang disajikan di Museum Pleret, keberadaan bendungan buatan ini sebagai tempat rekreasi Raja Amangkurat I dan permaisuri.
Segarayasa juga digunakan sebagai ajang berlatih perang sebagaimana dituturkan oleh Sri Margana, sejarawan asal UGM dalam video dokumenter yang sama, mengingat jarak pusat Kerajaan Pleret dengan Laut Jawa adalah 99,63 km dan 20 km ke Samudera Hindia.Â
Segarayasa dibangun dengan membendung Sungai Opak sehingga kemudian terlihat sebagai laut yang luas yang berada di daratan. Hal ini berarti bahwa Kerajaan Mataram Islam memiliki gagasan yang kuat sebagai negara maritim, sebagaimana kemudian mereka berkeinginan memiliki angkatan perang kelautan yang tangguh untuk mengamankan hegemoni kekuasaannya (orientasi sebagai pertahanan).
Terdapat beragam koleksi hasil ekskavasi Keraton Pleret yang menjadi sumber kekayaan intelektual dalam memahami sejarah peradaban, terutama Kerajaan Mataram Islam.
Situs Kerto
Situs Kerto merupakan situs bekas Keraton Mataram Islam pada masa pemerintahan Sultan Agung. Menurut Babad Momana, disebutkan bahwa Keraton Kerto adalah keraton kedua Mataram yang dibangun pada tahun 1539 J atau 1617 M.
Situs tersebut menempati lahan yang lebih tinggi kurang lebih 1-1,5 m dari tanah sekitarnya, sehingga oleh masyarakat disebut "lemah dhuwur". Situs Kerto dulunya merupakan Sitihinggil Keraton Kerto. Bangunan Sitihinggil merupakan bangunan untuk menerima tamu raja.
Pada bagian tengah umpak terdapat lubang untuk menancapkan tiang kayu. Sebelum tahun 1970-an, di situs ini terdapat 2 buah umpak, namun kemudian salah satu umpak itu dipindahkan dan digunakan sebagai saka guru Masjid Sakatunggal di Kompleks Tamansari pada masa HB IX.Â
Pada umpak terdapat ragam hias berupa penyamaran huruf Arab yang terdiri dari mim, ha, dal. Jadi, jika huruf Arab tersebut disatukan akan membentuk kata "Muhammad".
Bata Raksasa
Bata atau batu bata temuan di kawasan Situs Pleret memiliki ukuran yang cukup besar. Ekskavasi arkeologis yang dilakukan sejak tahun 70-an hingga saat ini dan telah dijadikan Open Site Museum.Â
Berdasarkan temuan terutama struktur batu ata memiliki karakteristik yang berbeda baik ukuran, kekuatan dan penempatan dalam struktur. Berdasar data, ukuran batu bata terbesar yang ditemukan adalah di kawasan reruntuhan Masjid Agung Kauman Pleret dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 27 cm dan tebal 10 cm. Bandingkan dengan ukuran batu bata saat ini, yaitu dengan dimensi kurleb 12 x 5 x 2,5 cm!
Bukti-bukti bahwa Pleret merupakan bekas suatu kerajaan salah satunya adalah toponim nama-nama dusun di sekitar Pleret. Toponim merupakan nama wilayah yang menggambarkan peristiwa pada masa lalu.Â
Salah satu toponim adalah Dusun Pungkuran. Nama Pungkuran muncul karena wilayah ini berada di belakang benteng Keraton Pleret, dalam istilah Jawanya disebut "mungkuri" atau membelakangi.
Penggalian struktur arkeologis oleh Dinas Kebudayaan DIY pada tahun 2011 menemukan struktur benteng Keraton. Temuan ini berupa bagian dari struktur benteng keliling bagian dalam dari keraton yang disebut juga dengan Benteng Cepuri sisi selatan.Â
Struktur tersebut berbentuk serong sehingga tidak tepat berorientasi barat-timur. Selain itu, bentuk benteng keraton Pleret adalah jajargenjang. Berdasarkan peta kuna, luas tembok keliling adalah 2256 m dengan tinggi 5-6 meter, lebar 1,5 meter (bagian atas) dan lebar bagian dasar 2,8 meter. Menurut Babad Sengkala, disebutkan bahwa material dinding benteng merupakan bata merah dengan hiasan puncaknya dari batu putih.
Museum Pleret berjarak kuranglebih 12 km dari pusat kota Yogyakarta. Bila ingin berkunjung ke sana, dari Terminal Giwangan, ikuti Jalan Imogiri Timur ke arah Selatan sampai kemudian menemukan perempatan Jejeran Wonokromo. Ambil arah yang ke kiri, kurang lebih 2 km ke arah timur, kompleks situs bersejarah Pleret tepat berada di kanan jalan di Jl Raya Pleret.Â
Waktu kunjungan museum setiap hari pukul 08.00-15.30 WIB, hari Jumat pukul 08.00-14.30 WIB, hari besar nasional tutup. Tiket masuk gratis.
Jadi jangan lupa jas merah yaa...jangan melupakan sejarah!
Selamat menikmati...selamat berliburan...:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H