Mohon tunggu...
Yusticia Arif
Yusticia Arif Mohon Tunggu... Administrasi - Lembaga Ombudsman DIY

I Q R O '

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Perkeretaapian yang Ramah Difabel

28 Maret 2017   11:30 Diperbarui: 7 Juni 2017   21:01 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Triyono dan Mas Muhammad Joni (dok.pri)

Konvensi Hak-hak Penyandang Disablitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) sebagaimana telah disahkan oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi No A/61/06 pada Desember 2006, mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 10 November 2011. Pemberlakuan ini ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Konvensi ini merupakan bagian penting dari kerangka kerja hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, dan meneguhkan hak untuk bebas dari berbagai bentuk diskriminasi serta hak yang sama untuk menikmati hak-hak lainnya sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi Indonesia.

Data statistik mengenai jumlah penyandang disabilitas di Dunia merupakan salah satu potret yang menunjukkan betapa isu disabilitas penting untuk dijadikan agenda bersama. Disabled Peoples’ International Asia Pasific (DPIAP) menyebutkan lebih dari 665 juta orang di dunia adalah orang dengan disabilitas. Artinya lebih dari 15% dari populasi dunia menyandang disabilitas. PBB mencatat ada sekitar 60% dari 650 orang dengan disabilitas di seluruh dunia tinggal di kawasan Asia dan Pasifik. Sedangkan UN Department of Economic and Social Affairs dalam lembar infonya menyebutkan 80 persen orang dengan disabilitas hidup di pedesaan.

Kaum difabel di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum mendapatkan pelayanan publik yang optimal sehingga sebagian besar dari mereka belum menjadi warga negara yang mandiri dan sejahtera. Dalam hal aksesibilitas, ketersediaan sarana dan prasarana ramah difabel saat ini masih sangat terbatas di Indonesia pada umumnya dan Yogyakarta khususnya. Aksesibilitas difabel yang dijanjikan pemerintah dalam UU No 4 th 1997 pada prakteknya tetap saja belum mempermudah akses pergerakan mereka. Padahal setidaknya ada 4 asas yang dapat menjamin kemudahan atau aksesibilitas difabel tersebut yang mutlak mestinya harus dipenuhi oleh pemerintah yakni:

  • Azas kemudahan, artinya setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
  • Azas kegunaan, artinya semua orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. 
  • Azas keselamatan, artinya setiap bangunan dalam suatu lingkungan terbangun harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang termasuk difabel. 
  • Azas kemandirian, artinya setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.

Jumlah difabel di DIY berdasarkan data Dinas Sosial tahun 2011 adalah 35.264. Saat ini, menurut Mas Triyono, narasumber yang juga founder Ojek Difa (ojek khusus difabel), jumlah tertinggi penyandang difabel di DIY adalah dari Kabupaten Bantul, angka ini meningkat karena banyaknya korban gempa bulan Mei tahun 2006 lalu.

Kebijakan terbaru berkaitan dengan difabel khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Peraturan Daerah No 4 tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Perda ini mencakup tentang penerapan pendidikan inklusi, pekerjaan kepada difabel (adanya penghargaan kepada perusahaan yang memberikan pekerjaan kepada difabel), kebijakan jaminan pembiayaan kesehatan daerah kepada difabel serta beberapa kebijakan layanan yang sudah mulai berpihak kepada difabel. Pasal 3 perda ini menegaskan bahwa Pemerintah Daerah  DIY menjamin hak-hak kaum difabel meliputi  hak dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial, seni, budaya, olah raga, politik, hukum, penanggulangan bencana, tempat tinggal, dan aksesibilitas.

Menyoal Aksesibilitas Stasiun Kereta di Daop 6

Pada Hari Senin tanggal 27 Maret 2017 kemarin, Komunitas Pramekers bersama dengan pemangku kepentingan Daop 6 Yogyakarta serta rekan-rekan dari Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab) menyelenggarakan diskusi dengan tema “Menuju Pelayanan Stasiun dan Kereta Api Yang Ramah Difabel” di Pendopo Madukusuman, Langenastran Yogyakarta. Diskusi ini menghadirkan nara sumber dari Forum Sigab: Mas Muhammad Joni, founder Ojek Difa : Mas Triyono yang kebetulan juga sering naik kereta, Kadaop 6 Yogyakarta, Bapak Hendi Helmy dan akademisi dari kampus Universitas Sebelas Maret.

Dalam forum diskusi terungkap bahwa Stasiun Tugu sebagai stasiun terbesar di DIY pun belum memberikan akses kemudahan bagi difabel. Pada pintu masuk utama, difabel pengguna kursi roda mengalami kesulitan untuk memasuki area stasiun karena harus menaiki tangga, tanpa ada jalan landai. Kendala lain muncul yaitu dari peron menuju kereta yang tidak aksesibel khususnya bagi pengguna kursi roda. Selain itu, di dalam kereta api pun kamar mandi tidak dapat diakses oleh pengguna kursi roda karena terlalu sempit.

PT KAI dinilai belum mengakomodasi permintaan pelayanan non fisik bagi kaum difabel, misalnya arahan menuju loket bagi difabel. Petugas khusus yang berfungsi melayani dan membantu difabel pun menurutnya belum ada. Namun demikian, beberapa fasilitas umum seperti toilet di dalam stasiun telah memberikan kemudahan bagi difabel dengan penyediaan toilet khusus meski beberapa kali dalam posisi terkunci (karena sering disalahgunakan oleh pengguna yang non difabel).

Menurut Mas Triyono, Stasiun Tugu masih jauh lebih baik daripada stasiun-stasiun di Solo, yaitu Balapan dan Purwosari. Kedua stasiun tersebut belum memiliki peron tinggi sehingga penumpang difabel akan kesulitan naik-turun kereta. Belum lagi isu toleransi yang minim ketika berada di dalam kereta, meski sudah jelas tersedia tempat duduk prioritas (TDP) dengan stiker khusus di atas kursi, masih banyak penumpang non difabel yang sering tidak mau berbagi dengan yang seharusnya lebih berhak.

Mas Triyono dan Mas Muhammad Joni (dok.pri)
Mas Triyono dan Mas Muhammad Joni (dok.pri)
Permintaan akan aksesibilitas ini bukanlah tuntutan akan kesempurnaan pelayanan, melainkan sebagai bentuk untuk mencari solusi bersama-sama sehingga semua kebutuhan penumpang terakomodasi, mengingat bahwa stasiun-stasiun di Indonesia adalah peninggalan pemerintahan kolonial, dimana desainnya saat itu tidak diperhitungkan secara layak (stasiun-stasiun kereta di Jawa – khususnya – direncanakan untuk mendukung mobilitas orang dan logistik yang mendukung pemerintahan kolomial saat itu).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun