Mohon tunggu...
Yustia Nada Hanifah
Yustia Nada Hanifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

mahasiswa umy 2023

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Identitas dalam Masyarakat Muslim: Pengaruh Budaya Terhadap Dinamika Kekuasaan

9 Juni 2024   14:55 Diperbarui: 2 Juli 2024   20:48 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik identitas telah menjadi fenomena penting di berbagai belahan dunia, termasuk  masyarakat Islam. Dimana identitas politik tidak hanya ditentukan oleh faktor agama, tetapi juga oleh budaya, etnis, dan sejarah.

 Dalam masyarakat Islam, interaksi identitas budaya dan  agama menciptakan relasi kekuasaan yang unik dan kompleks. Politik identitas dalam masyarakat Muslim mengacu pada penggunaan identitas agama, etnis, atau budaya sebagai basis untuk mobilisasi politik dan sosial,  Artikel ini membahas bagaimana budaya mempengaruhi politik identitas dalam masyarakat Islam dan bagaimana budaya membentuk relasi kekuasaan. 

Politik identitas adalah kecenderungan kelompok tertentu untuk membangun dan mempertahankan identitas kolektif berdasarkan faktor-faktor seperti agama, etnis, atau budaya. Hal ini sering  dilakukan untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain dan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka di bidang politik dan sosial. 

Dalam konteks masyarakat Islam, identitas tersebut seringkali dipengaruhi oleh  norma dan nilai yang muncul dari ajaran Islam, sejarah, dan tradisi keagamaan.

Dinamika kekuasaan adalah interaksi yang terjadi dalam struktur kekuasaan dan mencerminkan bagaimana kekuasaan dinegosiasikan, diperebutkan, dan dilaksanakan. Kekuasaan muncul dari penggabungan berbagai faktor, baik individual maupun sistemik. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan atau sewenang-wenang, namun berakar pada struktur masyarakat, karakteristik pribadi, dan sejarah hubungan. Struktur sosial seperti kelas, gender, ras, dan usia merupakan kontributor signifikan terhadap dinamika kekuasaan. Struktur ini dapat memberikan atau menahan kekuasaan, sehingga mempengaruhi kapasitas individu untuk membuat pilihan dan mempengaruhi hasil,

Pengaruh Budaya terhadap Identitas Politik dalam Masyarakat Muslim Agama sebagai Faktor Pembentukan Identitas Islam berfungsi tidak hanya  sebagai agama tetapi juga sebagai sistem kehidupan yang mempengaruhi berbagai aspek sosial, politik dan budaya.  Di banyak negara Islam, ajaran dan nilai-nilai Islam menjadi dasar pembentukan identitas politik. Misalnya, konsep ummah (komunitas Muslim global) berperan penting dalam menciptakan rasa solidaritas dan identitas bersama di kalangan umat Islam dari berbagai belahan dunia. Ajaran Islam seringkali dijadikan kerangka  kebijakan publik dan hukum, yang pada akhirnya mempengaruhi relasi kekuasaan.. 

Komunitas Muslim di seluruh dunia memiliki tradisi dan sejarah yang berbeda-beda. Misalnya, masyarakat Islam di Timur Tengah memiliki sejarah panjang  peradaban kuno, kerajaan, dan kekhalifahan yang mempengaruhi struktur sosial dan politik. Di sisi lain, masyarakat Islam di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia, mempunyai pengaruh budaya yang kuat dari agama Hindu dan Budha bahkan sebelum Islam menjadi dominan. 

Tradisi dan sejarah daerah-daerah tersebut memainkan peran penting dalam membentuk identitas politik dan mempengaruhi hubungan kekuasaan daerah. Identitas etnis juga memainkan peran penting dalam politik identitas dalam masyarakat Islam. Misalnya, di negara-negara seperti Irak dan Suriah, sering kali bersinggungan dengan identitas agama, sehingga menciptakan hubungan kekuasaan yang kompleks dalam politik lokal. Di negara-negara tersebut, perbedaan etnis dan agama seringkali menjadi sumber konflik dan polarisasi, sehingga mempengaruhi stabilitas  dan kekuasaan politik.

Politik identitas seringkali menimbulkan polarisasi dan konflik, terutama ketika berbagai kelompok merasa identitasnya terancam. Di beberapa negara, perbedaan identitas ini  menyebabkan konflik yang terus berlanjut. Di Irak, misalnya, perbedaan antara  Sunni dan Syiah telah menjadi sumber ketegangan dan kekerasan selama beberapa dekade. Konflik ini seringkali diperparah dengan adanya intervensi kekuatan asing yang berkepentingan dengan dinamika regional. Identitas politik seringkali dijadikan alat  mobilisasi massa. Para pemimpin politik mungkin menggunakan identitas agama atau etnis untuk mendapatkan dukungan dan memperkuat posisi  kekuasaan. Misalnya, selama revolusi Iran tahun 1979, Khomeini menggunakan identitas Islam Syiahnya untuk mendapatkan dukungan rakyat dan menggulingkan rezim sekuler Shah. 

Revolusi ini menunjukkan bagaimana identitas agama dapat menjadi kekuatan mobilisasi yang kuat dalam relasi kekuasaan. Identitas politik juga mempengaruhi kebijakan publik dan representasi politik. Kelompok dengan identitas tertentu mungkin memperjuangkan keterwakilan yang lebih besar dalam pemerintahan atau  kebijakan yang lebih menguntungkan kelompok tersebut. Misalnya saja di Indonesia, meski secara resmi merupakan negara sekuler, partai politik Islam sering berupaya menegakkan hukum syariah di berbagai tingkat pemerintahan. Hal ini  menunjukkan bagaimana identitas agama  mempengaruhi pengambilan kebijakan dan representasi politik di tingkat nasional.

Dalam artikel ini saya mengambil studi kasus dari negara Indonesia dan iran. Negara Indonesia sendiri Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan memiliki dinamika politik identitas tersendiri. Meski Islam memegang peranan penting, identitas bangsa yang majemuk dan asas binneka tungal ika (jamak namun satu) juga menjadi faktor penting. Politik identitas  agama, yang menyatakan dukungan terhadap partai politik Islam dan gerakan sosial keagamaan, telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. 

Meski demikian, identitas nasional yang kuat dan komitmen terhadap pluralisme tetap menjadi kekuatan penyeimbang dalam dinamika politik negara. Dan di Negra iran sendiri Revolusi Iran tahun 1979 adalah contoh klasik bagaimana identitas agama  mempengaruhi relasi kekuasaan. Revolusi  berhasil menggulingkan pemerintahan sekuler Syah dan menggantikannya dengan pemerintahan teokratis berdasarkan ajaran Islam Syiah. Khomeini menggunakan identitas Syiahnya untuk mendapatkan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat Iran yang merasa tertindas oleh rezim Shah. Revolusi ini menunjukkan bagaimana identitas agama dapat menjadi kekuatan mobilisasi yang kuat, dan bagaimana pergeseran identitas politik dapat mengubah struktur kekuasaan secara dramatis.

Seperti yang ditunjukkan dalam kasus Iran dan Indonesia, politik identitas dalam masyarakat Islam memiliki aspek yang kompleks dan beragam. Meski sama-sama mayoritas Muslim, kedua negara ini memiliki hubungan kekuasaan dan politik identitas yang sangat berbeda,  dipengaruhi oleh faktor budaya, sejarah, dan sosiopolitik masing-masing. Di Iran, politik identitas banyak dipengaruhi oleh Islam Syiah, yang menjadi agama mayoritas dan basis legitimasi kekuasaan sejak Revolusi Islam 1979. Revolusi menghubungkan kekuasaan agama dengan negara dan menciptakan sistem teokratis yang dipimpin oleh ulama Syiah. Identitas nasional Iran juga sangat dipengaruhi oleh sejarah panjang peradaban Persia dan perlawanan terhadap dominasi asing. 

Sejarah konflik dengan kekuatan eksternal, seperti perang Iran-Irak, telah membantu membentuk narasi nasional yang menekankan kedaulatan dan perlawanan terhadap intervensi eksternal. Dalam konteks ini, politik identitas di Iran bukan hanya soal agama, tapi juga soal budaya Persia dan sejarah perlawanannya. Sistem politik Iran menggabungkan unsur-unsur agama dan nasionalisme, sehingga menciptakan struktur kekuasaan yang kuat yang dikendalikan oleh elit agama. Identitas Syiah telah menjadi elemen penting dalam politik Iran, mempengaruhi kebijakan dalam negeri dan hubungan internasional.

Sebaliknya,  politik identitas Indonesia lebih pluralistik dan inklusif, mencerminkan keberagaman etnis, budaya, dan agama yang ada di negara ini. Meskipun Islam adalah agama mayoritas, namun Indonesia tidak memiliki negara teokrasi. Sebaliknya, ideologi Pancasila yang mengedepankan keberagaman dan toleransi justru menjadi dasar negara. Sejak era reformasi yang dimulai pada akhir tahun 1990an, terdapat peningkatan penekanan pada demokrasi dan hak asasi manusia, sehingga mendorong inklusivitas dalam sistem politik. 

Budaya lokal dan tradisi pluralisme merupakan bagian integral dari jati diri bangsa. Namun, Indonesia juga menghadapi tantangan dari meningkatnya sentimen keagamaan dan gerakan politik berbasis identitas  agama. Konflik agama di beberapa daerah menunjukkan bahwa perdamaian sosial masih rapuh. Meski demikian, komitmen terhadap Pancasila dan demokrasi merupakan keseimbangan penting dalam menjaga stabilitas politik dan sosial. Dari studi kasus di Iran dan Indonesia, jelas bahwa budaya dan sejarah memainkan peran penting dalam membentuk politik identitas dan relasi kekuasaan dalam masyarakat Islam. 

Di Iran, perpaduan antara agama dan nasionalisme yang kuat telah menciptakan sistem politik yang dikendalikan secara terpusat  oleh elit agama. Sementara itu, keberagaman budaya dan komitmen Indonesia terhadap pluralisme dan demokrasi telah menciptakan sistem politik yang lebih inklusif, meskipun hal ini bukannya tanpa tantangan. Kedua kasus ini menunjukkan bahwa meskipun memiliki landasan agama yang serupa, konteks budaya dan sejarah yang berbeda menciptakan dinamika kekuasaan dan identitas politik yang unik dalam masyarakat Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun