Mohon tunggu...
Yustia Nada Hanifah
Yustia Nada Hanifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

mahasiswa umy 2023

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Identitas dalam Masyarakat Muslim: Pengaruh Budaya Terhadap Dinamika Kekuasaan

9 Juni 2024   14:55 Diperbarui: 2 Juli 2024   20:48 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam artikel ini saya mengambil studi kasus dari negara Indonesia dan iran. Negara Indonesia sendiri Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan memiliki dinamika politik identitas tersendiri. Meski Islam memegang peranan penting, identitas bangsa yang majemuk dan asas binneka tungal ika (jamak namun satu) juga menjadi faktor penting. Politik identitas  agama, yang menyatakan dukungan terhadap partai politik Islam dan gerakan sosial keagamaan, telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. 

Meski demikian, identitas nasional yang kuat dan komitmen terhadap pluralisme tetap menjadi kekuatan penyeimbang dalam dinamika politik negara. Dan di Negra iran sendiri Revolusi Iran tahun 1979 adalah contoh klasik bagaimana identitas agama  mempengaruhi relasi kekuasaan. Revolusi  berhasil menggulingkan pemerintahan sekuler Syah dan menggantikannya dengan pemerintahan teokratis berdasarkan ajaran Islam Syiah. Khomeini menggunakan identitas Syiahnya untuk mendapatkan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat Iran yang merasa tertindas oleh rezim Shah. Revolusi ini menunjukkan bagaimana identitas agama dapat menjadi kekuatan mobilisasi yang kuat, dan bagaimana pergeseran identitas politik dapat mengubah struktur kekuasaan secara dramatis.

Seperti yang ditunjukkan dalam kasus Iran dan Indonesia, politik identitas dalam masyarakat Islam memiliki aspek yang kompleks dan beragam. Meski sama-sama mayoritas Muslim, kedua negara ini memiliki hubungan kekuasaan dan politik identitas yang sangat berbeda,  dipengaruhi oleh faktor budaya, sejarah, dan sosiopolitik masing-masing. Di Iran, politik identitas banyak dipengaruhi oleh Islam Syiah, yang menjadi agama mayoritas dan basis legitimasi kekuasaan sejak Revolusi Islam 1979. Revolusi menghubungkan kekuasaan agama dengan negara dan menciptakan sistem teokratis yang dipimpin oleh ulama Syiah. Identitas nasional Iran juga sangat dipengaruhi oleh sejarah panjang peradaban Persia dan perlawanan terhadap dominasi asing. 

Sejarah konflik dengan kekuatan eksternal, seperti perang Iran-Irak, telah membantu membentuk narasi nasional yang menekankan kedaulatan dan perlawanan terhadap intervensi eksternal. Dalam konteks ini, politik identitas di Iran bukan hanya soal agama, tapi juga soal budaya Persia dan sejarah perlawanannya. Sistem politik Iran menggabungkan unsur-unsur agama dan nasionalisme, sehingga menciptakan struktur kekuasaan yang kuat yang dikendalikan oleh elit agama. Identitas Syiah telah menjadi elemen penting dalam politik Iran, mempengaruhi kebijakan dalam negeri dan hubungan internasional.

Sebaliknya,  politik identitas Indonesia lebih pluralistik dan inklusif, mencerminkan keberagaman etnis, budaya, dan agama yang ada di negara ini. Meskipun Islam adalah agama mayoritas, namun Indonesia tidak memiliki negara teokrasi. Sebaliknya, ideologi Pancasila yang mengedepankan keberagaman dan toleransi justru menjadi dasar negara. Sejak era reformasi yang dimulai pada akhir tahun 1990an, terdapat peningkatan penekanan pada demokrasi dan hak asasi manusia, sehingga mendorong inklusivitas dalam sistem politik. 

Budaya lokal dan tradisi pluralisme merupakan bagian integral dari jati diri bangsa. Namun, Indonesia juga menghadapi tantangan dari meningkatnya sentimen keagamaan dan gerakan politik berbasis identitas  agama. Konflik agama di beberapa daerah menunjukkan bahwa perdamaian sosial masih rapuh. Meski demikian, komitmen terhadap Pancasila dan demokrasi merupakan keseimbangan penting dalam menjaga stabilitas politik dan sosial. Dari studi kasus di Iran dan Indonesia, jelas bahwa budaya dan sejarah memainkan peran penting dalam membentuk politik identitas dan relasi kekuasaan dalam masyarakat Islam. 

Di Iran, perpaduan antara agama dan nasionalisme yang kuat telah menciptakan sistem politik yang dikendalikan secara terpusat  oleh elit agama. Sementara itu, keberagaman budaya dan komitmen Indonesia terhadap pluralisme dan demokrasi telah menciptakan sistem politik yang lebih inklusif, meskipun hal ini bukannya tanpa tantangan. Kedua kasus ini menunjukkan bahwa meskipun memiliki landasan agama yang serupa, konteks budaya dan sejarah yang berbeda menciptakan dinamika kekuasaan dan identitas politik yang unik dalam masyarakat Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun