Dalam kondisi yang berbeda-beda, menurut ajaran agama masing-masing, banyak hal yang bisa kita jadikan contoh bahwa umat manusia selalu bisa bekerja sama. Ketika kita naik bus, misalnya, kita ikut saja dan percaya bahwa supirnya mahir dan profesional menjalankan bisnya.
Ketika kita menjadi penumpang bis itu, supirnya adalah pemimpin dari seluruh penumpang harus menaati petunjuk-petunjuknya. Ketika kita naik bis itu, kita tidak bertanya agama supirnya apa, kan? Yang penting kita yakin bahwa dia memang supir, bukan tukang bakso.
Jadi kenapa ketika kita akan memilih gubernur, kita sibuk mengurusi agama calon Gubernur? Kita juga naik motor, menelpon dengan HP, atau membersihkan tangan pakai denga tisu tanpa mau repot-repot mempermasalahkan siapa dan apa agamanya dari orang-orang yang membuat benda-benda itu.
Percaya atau tidak, sajadah-sajadah murah tetapi bagus, yang dijual di Mekkah dan selalu dijadikan oleh-oleh oleh mereka yang baru pulang dari umroh atau haji, adalah buatan Cina, yaitu negara ‘kafir’ asal-usulnya Ahok.
Ketika Jokowi menjadi calon presiden, dia juga dimusuhi dan dirisak, malah lebih dahsyat lagi ketimbang nasib Ahok yang dianggap non-pribumi dan Nasrani. Namun Jokowi yang pribumi dan muslimpun, difitnah dulu sebagai non-pri (lengkap dengan nama Cinanya) dan Nasrani, untuk kemudian dirusak sebagai non-pri dan Nasrani.
Bahkan pembawaan Capres Jokowi sebagai orang Solo asli, yang selalu adem, tidak pernah ngomong keras, apalagi kasar, tidak menyebabkannya diperlakukan lebih baik dari pada Cagub Ahok, yang orang Bangka-Belitung dan berperangai berangasan.
Jadi, sebetulnya bukan Ahok yang menista agama Islam, tetapi pihak-pihak yang menuduh Ahok sebagai penista Islam lah, yang sedang menista Ahok. Tentu saja karena Ahok manusia biasa, bukan malaikat, apalagi Tuhan, ia bisa saja sewaktu-waktu dinista oleh siapa saja dan di mana saja.
Namun Islam sebagai agama yang rasional, bukan lah agama tukang menista. Islam yang rahmatan lil alamin, adalah agama yang penuh damai, dan penuh pemaafan. Inilah yang akhir-akhir ini, di era teknologi informasi dan globalisasi yang sangat rentan akan suasana penuh konflik dan fitnah ini, timbul ketertarikan yang makin lama makin kuat dari orang-orang yang tergolong intelektual, yang mencari pesan-pesan spiritual yang menyejukkan hati, untuk makin mendalami Islam dan mengupas sisi-sisi baiknya dari agama kita-kita yang muslim, sedangkan di antara yang non-muslim makin lama makin banyak yang berkonversi untuk menjadi muslim.
Di sisi lain, kondisi umat Islam sendiri di Indonesia sangat awam, tidak kritis dan tidak kreatif, mudah terpengaruh dan sangat emosional. Mereka ini sangat mudah diprovokasi, karena mereka bermain dengan emosi.
Maka ketika Ahok dilantik jadi gubernur, kaum pembenci Ahok yang mengatas namakan Islam, juga melantik “Gubernur” mereka sendiri, lengkap dengan seragam putih-putih dan peci hitam, diiringi dengan pekik takbir yang akhirnya lenyap begitu saja dibawa angin lalu.
Dari Rasional Menjadi Rasionalisasi