Sudah juga menjadi rahasia umum, walaupun tidak pernah disiarkan di media massa bahwa Ahok mengalokasikan dana untuk perbaikan-perbaikan masjid-masjid di DKI dan sudah banyak takmir masjid se-DKI yang diumrohkan oleh Ahok dengan dana Pemprov DKI.
Dia gusur Kalijodo, tuntas! Tanpa bekas dan tanpa kekerasan, semua menyingkir dengan sendirinya, walaupun sebelumnya ribut-ribut. FPI sendiri yang sering membuat takut masyarakat dengan sweeping-sweeping yang menakutkan, malah tidak pernah sekalipun berhasil menuntaskan masalah lokalisasi.
Sekarang, cobalah bandingkan dengan pemimpin-pemimpin lain yang, misalnya, terkait KPK. 90% mereka muslim, bahkan ada yang perempuan juga. Mereka menghadiri sidang pengadilan lengkap dengan jilbabnya.
Bahkan ada menteri agama dan Ketua PKS juga tersangkut KPK, baik yang mengorupsi pencetakan Al Quran, maupun memanipulasi perdagangan daging sapi. Namun kenapa tidak ada yang mendemo KPK?
“Bubarkan KPK. Tangkap pimpinan KPK, karena telah menzalimi pimpinan dan tokoh Islam!”. Bukankah, kalau ditangkapi semua, lama-lama umat Islam kehabisan pemimpin? Di mana logika kita beragama?
Islam Agama Rasional
Akhir-akhir ini Surat Al Maidah ayat 51 menjadi sasaran tembak untuk menuding Ahok sebagai penista agama. Inti surat itu adalah melarang kaum muslim untuk memilih pemimpin yang beragama Nasrani dan Yahudi, karena “sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain”. Maksudnya, setiap golongan sudah ada pemimpinnya masing-masing. Kalau kita memilih pemimpin Nasrani atau Yahudi, kita akan menjadi bagian dari mereka. Bukan bagian dari umat Islam lagi.
Ayat Al Quran ini sangat logis, masuk akal, dan sesuai dengan teori dasar Sosiologi tentang in-group dan out-group dan berlaku untuk setiap kelompok apapun. Sebagai contoh, kalau massa pelajar sebuah sekolah, misalnya sekolah X, sedang saling lempar batu dan mengayun kelewang dengan massa sekolah yang lain, misalnya sekolah Y, dan tiba-tiba ada sebagian siswa dari selolah X yang menyebrang ke sekolah Y atau sebaliknya dari Y ke X, sudah barang tentu mereka yang menyebrang itu langsung akan dianggap memihak lawan dan akan dijadikan sasaran lemparan batu. Namun siapa tahu yang menyeberang itu melihat adiknya atau tetangganya sendiri sedang bertempur di pihak sana, padahal sehari-hari mereka saling bergaul, saling bersahabat, dan saling berbincang, kok sekarang jadi bermusuhan? Boleh jadi yang menyeberang hanya bermaksud melindungi adik atau tetangganya tersebut agar tidak terkena lemparan batu atau sabetan kelewang. Jelas si penyeberang tidak bermaksud untuk berganti kelompok. Karena itu pemahaman tentang in-group dan out-group harus dilakukan secara kontekstual.
Begitu juga dengan surat Al Maidah. Di luar konteks keimanan, tidak ada salahnya kita berteman, bertetangga, bekerja sama, atau bahkan bekerja pada seseorang Nasrani atau Yahudi, atau penganut agama apapun lainnya (Buddha, Hindu dan Konghucu tidak disebut dalam Al Maidah, apakah boleh kita pilih sebagai pemimpin?).
“Di luar konteks keimanan, tidak ada salahnya kita berteman, bertetangga, bekerja sama, atau bahkan bekerja pada seseorang Nasrani atau Yahudi, atau penganut agama apapun lainnya”
Allah tidak menciptakan manusia seragam, seperti Allah menciptakan semua malaikat yang tahunya hanya menyembah Allah, atau seperti Setan yang hanya mau mengikuti hawa nafsunya sendiri. Allah menciptakan manusia sebagai mahluk yang beragam, dan berlain-lainan golongan.