Mohon tunggu...
Yusrin  TOSEPU
Yusrin TOSEPU Mohon Tunggu... Dosen -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Periset di LSP3I Region V Sulawesi Pusat Makassar. Ketua Lembaga Kajian Forensik Data dan Informasi KAVITA MEDIA Makassar Penggiat Literasi Media ICT (Information and Communication Technology)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surga Milik Siapa?

28 Juli 2018   23:40 Diperbarui: 29 Juli 2018   01:22 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbedaan pendapat, sudut pandang, warna dan aliran politik jangan dianggap sebagai perpecahan, melainkan sebagai kekuatan dan tonggak persatuan.

Jangan karena perbedaan politik dan sudut pandang lantas kita sangat berhak mengahakimi seseorang dengan label surga dan neraka. Jangan karna kita tak seiman dalam politik lantas kita berhak mengecap kafir.

Perbedaan itu sunatullah, wajar adanya. Perbedaan itu merupakan rahmat, dan setiap rahmat pasti akan memberikan kedamaian. Akan tetapi jika perbedaan itu dianggap laknat maka tunggulah kehancuran.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz di masa kepemimpinannya sangat menghargai adanya perbedaan pendapat bahkan pernah mengatakan, "Saya tidak suka kalau para sahabat tidak berbeda pendapat, sebab kalau mereka hanya memiliki satu pendapat, tentu manusia akan berada dalam kesempitan, padahal mereka itu adalah para pemimpin yang dijadikan panutan oleh umat. Kalau ada seseorang mengambil salah satu dari beberapa pendapat sahabat yang ada, maka ia berada dalam keluasan." Ini salah sau contoh wujud demokrasi.

Realitas politik kekinian, banyak para elit yang alergi dengan perbedaan pendapat. Yang berbeda pendapat dengan mereka dianggap sebagai musuh, bahkan sampai memberi label "kafir".

Surga dipolitisasi sebagai komoditi politik dengan dalil-dalil yang siap saji. Membangun asumsi dan prediksi subjektif melalui sekumpulan dalil untuk menyatakan apa yang mereka katakana dan lakukan telah tersurat dalam ajaran agama dan belaku final.

Kalangan politikus setengah ustad itu mereplikasi ajaran keagamaan secara kuantitatif-simplikatif, meskipun tidak memahami apa esensi dan substansi sebuah ajaran yang patut disampaikan kepada publik.

Padahal setiap kebenaran yang lazim disampaikan harus berimplikasi pula pada tanggung jawab pencerahan kepada pihak lain agar sebuah pesan keagamaan tersampaikan, dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sosial.

Maka tak heran jika sekarang ini mendekati pileg dan pilpres 2019 banyak elit politik mendadak jadi ustad, sebaliknya ustad mendadak jadi politikus, karena di situ ada semacam kepentingan yang mendesak untuk menaikkan daya tawar dirinya di hadapan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun