Mohon tunggu...
Yusrin  TOSEPU
Yusrin TOSEPU Mohon Tunggu... Dosen -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Periset di LSP3I Region V Sulawesi Pusat Makassar. Ketua Lembaga Kajian Forensik Data dan Informasi KAVITA MEDIA Makassar Penggiat Literasi Media ICT (Information and Communication Technology)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surga Milik Siapa?

28 Juli 2018   23:40 Diperbarui: 29 Juli 2018   01:22 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Surga itu milik siapa ????? yang jelasnya bukan milik manusia. Siapa yang berhak memutuskan seseorang masuk surga??? yang jelasnya bukan manusia.

Yang berhak untuk memastikan seseorang masuk surga atau tidak itu hak mutlak pemilik surga, bagi mereka yang melakukan amal perbuatan yang sesuai aturan dan ketentuan yang telah ditetapkanNya.

Apa yang kita perbuat di dunia ini tidak ada jaminan di terima atau atau tidak oleh pemilik surga. Apalagi hanya bergantung pada penilaian manusia.

Lantas apa yang harus kita perbuat di dunia ini???? Tak lain dan tak bukan berperilakulah sesuai dengan aturan dan ketentuan sesuai  yang telah dituliskan dalam pedoman yang dibuat oleh pemilik surga. Dengan syarat tidak berlebih-lebihan dan tidak kaku.

Sejatinya manusia hanya dituntut berbuat baik serta berlomba-lomba dalam kebajikan untuk meraih ridho dan rahmatNya pemilik surga.

Akhir-akhir ini surga seolah-olah sudah menjadi milik manusia. Bahkan menjadikan surga sebagai komoditi politik untuk meraup kekuasaan dan jabatan

Ada sebuah kisah Imam Al-Ghazali dan seekor lalat yang ditulis oleh Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nashoihul 'Ibad tentang seseorang yang berjumpa Imam Al-Ghazali dalam sebuah mimpi.

Imam Al-Ghazali mengisahkan bahwa di hadapan Allah ia ditanya tentang bekal apa yang ia serahkan untuk-Nya. Al-Ghazali pun menyebut satu persatu seluruh prestasi ibadah yang pernah ia jalani di kehidupan dunia.

Ternyata Allah menampik berbagai amalan Imam Al-Ghazali kecuali satu kebajikan saat bertemu dengan seekor lalat. Dengan kebajikan itu pula, Allah memerintahkan Al-Ghazali dalam mimpi itu "Masuklah kamu bersama hambaku ke surga".

Kisah Al-Ghazali dengan seekor lalat bermula ketika Al-Ghazali hendak menulis sebuah kitab yang dikarangnya tiba-tiba ada seekor lalat datang menghampirinya. Lalat tersebut dengan pelan-pelan masuk ke dalam wadah tinta.  Al-Ghazali membiarkan lalat tersebut minum karena Al-Ghazali tahu bahwa lalat tersebut pasti haus.

Berangkat dari kisah ini, kira-kira perbuatan apa yang pantas kita andalkan menuju Surga. Sementara kita terus-terusan sibuk dengan perdebatan hanya karena berbeda pendapat, berbeda warna dan aliran politik yang pada akhirnya saling menghujat, menyakiti bahkan mengintimidasi seseorang dengan segala dalil yang tidak jelas.

Perbedaan pendapat, sudut pandang, warna dan aliran politik jangan dianggap sebagai perpecahan, melainkan sebagai kekuatan dan tonggak persatuan.

Jangan karena perbedaan politik dan sudut pandang lantas kita sangat berhak mengahakimi seseorang dengan label surga dan neraka. Jangan karna kita tak seiman dalam politik lantas kita berhak mengecap kafir.

Perbedaan itu sunatullah, wajar adanya. Perbedaan itu merupakan rahmat, dan setiap rahmat pasti akan memberikan kedamaian. Akan tetapi jika perbedaan itu dianggap laknat maka tunggulah kehancuran.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz di masa kepemimpinannya sangat menghargai adanya perbedaan pendapat bahkan pernah mengatakan, "Saya tidak suka kalau para sahabat tidak berbeda pendapat, sebab kalau mereka hanya memiliki satu pendapat, tentu manusia akan berada dalam kesempitan, padahal mereka itu adalah para pemimpin yang dijadikan panutan oleh umat. Kalau ada seseorang mengambil salah satu dari beberapa pendapat sahabat yang ada, maka ia berada dalam keluasan." Ini salah sau contoh wujud demokrasi.

Realitas politik kekinian, banyak para elit yang alergi dengan perbedaan pendapat. Yang berbeda pendapat dengan mereka dianggap sebagai musuh, bahkan sampai memberi label "kafir".

Surga dipolitisasi sebagai komoditi politik dengan dalil-dalil yang siap saji. Membangun asumsi dan prediksi subjektif melalui sekumpulan dalil untuk menyatakan apa yang mereka katakana dan lakukan telah tersurat dalam ajaran agama dan belaku final.

Kalangan politikus setengah ustad itu mereplikasi ajaran keagamaan secara kuantitatif-simplikatif, meskipun tidak memahami apa esensi dan substansi sebuah ajaran yang patut disampaikan kepada publik.

Padahal setiap kebenaran yang lazim disampaikan harus berimplikasi pula pada tanggung jawab pencerahan kepada pihak lain agar sebuah pesan keagamaan tersampaikan, dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sosial.

Maka tak heran jika sekarang ini mendekati pileg dan pilpres 2019 banyak elit politik mendadak jadi ustad, sebaliknya ustad mendadak jadi politikus, karena di situ ada semacam kepentingan yang mendesak untuk menaikkan daya tawar dirinya di hadapan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun