Mohon tunggu...
Yusrin  TOSEPU
Yusrin TOSEPU Mohon Tunggu... Dosen -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Periset di LSP3I Region V Sulawesi Pusat Makassar. Ketua Lembaga Kajian Forensik Data dan Informasi KAVITA MEDIA Makassar Penggiat Literasi Media ICT (Information and Communication Technology)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari Menjaga Masjid dari Propoganda Politik Praktis

11 Juni 2018   00:05 Diperbarui: 11 Juni 2018   00:32 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Islam atau Muslim. Selain digunakan sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim.

Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.

Masjid artinya tempat sujud. Masjid dari akar kata sajada-yasjudu berati sujud, lalu membentuk kata masjid yang berarti tempat sujud. Segala sesuatu yang ditempati sujud untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dapat disebut masjid.

Dalam tulisan ini, tak ada maksud sedikit pun di hati saya untuk mengklaim mereka yang menjadikan masjid sebagai sarana berpolitik sebagai bagian dari kelompok radikal maupun kaum yang munafik. Tulisan ini berfokus pada dampak-dampak negatif politisasi masjid saja, yakni perpecah-belahan.

Di tengah ingar-bingar politik kekuasaan sekarang ini, lihatlah dunia nyata kita begitu menghiasi beranda-beranda maya, dan obrolan-obrolan di media sosial, perihal silang-sengkarut perpolitikan yang beraras pada salah/benar, hitam/putih, jahat/mulia.

Hinggar binggar perpolitikan di negeri ini telah melahirkan dampak negatif, bersumber semata dari hasrat yang menggejolak pada kursi-kursi kekuasaan semata yang turut mempengaruhi kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan kita hari ini.

Politik sebagai jalan kemaslahatan manusia, telah tereduksi menjadi sekadar cara meraih kursi-kursi kekuasaan. Politik menjadi sekadar alat yang pragmatis, partisan, dan serba sementara.

Maka serbuan link provokasi, broadcast propaganda, dan hoak diterjangkan sedemikian derasnya ke dalam kehidupan sehari-hari kita, seolah Islam kita sebegitu terancanmnya, sebegitu kritisnya, dan sebegitu daruratnya utuk dibela dengan mata melotot dan otot menegang.

Di kalangan akar rumput, terjangan kabar-kabar mengerikan itu tak terfilter oleh pemikiran kritisi yang diperlukan, sehingga makin hari makin luaslah kecemasan-kecemasan akan keterancaman Islam itu mendera.

Ini lalu terangkut dan merembes ke mimbar-mimbar masjid hingga pengajian-pengajian, sehingga makin sempurnalah cengkeraman dan sergapan phobia itu menancap dalam pikiran dan hati .

Walhasil, potret politik hari ini hanya berorientasi pada kekuasaan instan semakin gagah menekuk ketenangan para warga yang majemuk, dan kehangatan persaudaraan, kerabat, dan sahabat.

Semua itu menemukan kekuatan justifikasi masifnya dalam jubah-jubah agama dan dalil-dalil hukum yang dikhutbahkan secara serampangan, baik atas dasar kesengajaan ala propaganda politik atau ambisi mencari panggung ekonomis, atau sekadar efek kecemasan berlebihan akibat provokasi informasi yang tak tersaring.

Fenomena memilukan tersebut jelas hanya mungkin terjadi akibat propaganda-propaganda politik partisan yang diembuskan kelompok politikus yang haus kekuasaan, dikemas dengan pekik-pekik religius yang cenderung manipulatif, lalu ditelan mentah-mentah oleh umat sebagai kebenaran dan kesucian agama.

Begitupun slogan-slogan kriminalisasi ulama yang santer mengusik ketenangan umat. Titik tersensitif manusia bernama agama dieksploitasi dengan sengaja oleh elit politik propagandis, diviralkan melalui kanal-kanal yang mereka biayai dan kuasai, hingga memasuki mimbar-mimbar masjid, dan merembes sempurna ke kepala-kepala masyarakat umum sebagai "kebenaran mutlak".

Lalu, terpatrilah potret mencekam tentang Islam yang digembosi, para ulama yang dikriminalisasi, dan masa depan anak-anak yang terancam kehilangan marwah keimanan dan keislamannya.

Ilustrasi-ilustrasi keterancaman Islam di negeri ini sangatlah potensial untuk dieskpos, dan para politisi fakir nurani dan rohani paham betul itu merupakan lumbung emasnya untuk melenggang ke tampuk-tampuk kekuasaan.

Dan, mereka pun tahu, tempat yang paling strategis untuk mengkampanyekan tujuan-tujuan propaganda politik berbingkai keterancaman Islam itu adalah masjid-masjid. Massanya jelas, corongnya pasti, biayanya pun tidak besar, dan dampak psikologis yang timbul pun dijamin militant. Masjid-masjid adalah lumbung-lumbung suara yang menakjubkan!

Kita dapat menyaksikan, betapa luar biasanya madharat yang ditimbulkan oleh gerakan politisasi masjid ini. Madharat yang saya maksud bukanlah ekses yang mengarah pada comfort zone kelompok politik ini atau itu, pemerintah atau opisisi, tetapi meriungnya kecurigaan, kebencian, permusuhan, dan perpecahan yang amat menyedihkan di antara umat Islam sendiri sebagai sebuah bangunan ukhuwah Islamiyah.

Dalam ajaran Islam, segala aspek kehidupan tidak boleh dipisahkan dari  agama, termasuk di dalamnya kehidupan politik dan bernegara, maka masjid pada hakikatnya sahih dijadikan sarana pendidikan politik umat.

Namun, poin tegas yang ingin saya tekankan bahwa masjid hanya sahih dijadikan sarana pendidikan politik dan bernegara yang positif, produktif, high values, bukan ajang politik partisan, pragmatis, propagandis, dan segala bentuk ekspresi politik yang bermuatan hate speech atau provokatif atau faksional blok di mimbar-mimbar.

Bahkan di sebuah daerah, ada sebuah kelompok keagamaan yang berafilisasi secara politik ke sebuah partai, menggelar pengajian akbar di sebuah masjid. Temanya mengabarkan auara yang sangat Islami. Tetapi, konten pengajiannya adalah caci maki pada pemerintahan yang ada sekarang ini.

Inilah contoh nyata dari politik masjid yang negatif, bertentangan dengan high values politik Islam. Ini adalah contoh propaganda politik di dalam masjid, yang jelas hanya membuncahkan kemadharatan: perselisihan, pertikaian, dan benci-membenci di antara umat Islam.

Masjid haruslah kita jaga dan rawat bersama agar tetap pada marwahnya yang adiluhung. Masjid harus diselamatkan dari politik praktis, partisan, faksional, dan propaganda.

Masjid adalah tempat kita menyerukan nama Allah dan mengagungkanNya, yang dalam segala bentuk kegiatannya haruslah semata-mata membuahkan keadaban, kebaikan, kemaslahatan, dan kemanusiaan.

Segala edukasi politik pun mestilah beraras pada narasi-narasi keadaban, keluhungan, dan kemaslahatan sebagai marwah khas masjid di mana kita semua lintas warna politik dan pilihan politik bersujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun