Mohon tunggu...
Yusril Izha Mahendra
Yusril Izha Mahendra Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Ekonomi Pembangunan

Keberanian Itu Mewabah

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Lampung: Terasingkan di Rumahnya Sendiri

7 Desember 2021   09:30 Diperbarui: 7 Desember 2021   09:34 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

"... Melihat Bahasa Lampung dalam kedudukannya sebagai bahasa ibu di orang Lampung itu sendiri juga mulai ada tanda-tanda mau punah, karna tidak dipakai.." Potongan pernyataan tersebut berasal dari video wawancara Teras Lampung bersama Dr. Farida Ariyani, M.Pd pada tahun 2014 lalu.

Dalam video yang berjudul "Wawancara Dengan Dr. Farida Ariyani: Masa Depan Bahasa Lampung" tersebut membahas banyak hal, di antaranya politik bahasa Lampung, program pendidikan bahasa Lampung, hingga mengenai tanda-tanda kepunahan bahasa Lampung. 

Dijelaskan dalam video, yang mendasari Dr. Farida Ariyani mengatakan bahasa Lampung menunjukkan tanda-tanda kepunahan adalah hasil penelitian dari Asim Gunarwan.

Tidak jauh berbeda dengan pernyataan Dr. Farida Ariyani, M.Pd pada 2014 lalu, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung Eva Krisna mengatakan, "Jadi penutur di Kota Bandarlampung sangat mengkhawatirkan, dan kita tidak mendengarkan ada menggunakan bahasa Lampung. Menurut pemetaan teman-teman, bahasa Lampung ada di kabupaten, dan banyak yang muda menggunakan bahasa Indonesia karena kita heterogen jadi kecampur (bahasanya)." Pernyataan tersebut disampaikannya ketika launching penyusunan kamus bahasa Lampung Kantor Bahasa Provinsi Lampung pada 01 Maret  2021 lalu.

Pembahasan mengenai kondisi penggunaan bahasa Lampung yang mengkhawatirkan atau mengenai tanda-tanda kepunahannya bukanlah suatu yang baru. 

Pada 1999 Asim Gunarwan dalam penelitiannya yang berjudul "The Encroachment of Indonesian upon the Home Domain of the Lampung Language Use: A Study of the Possibility of a Minor-Language Shift." 

Dalam penelitiannya ia mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa Lampung dan bahasa Indonesia membentuk situasi diglosik. Dalam situasi itu, bahasa Indonesia ditempatkan sebagai "bahasa ranah tinggi" dan ragam bahasa Lampung berfungsi sebagai "bahasa ranah rendah". 

Namun, bahasa Indonesia mendesak bahasa Lampung dalam ranah penggunaan bahasa di rumah. Dia menyimpulkan bahwa telah terjadi kebocoran diglosia pada penggunaan bahasa oleh orang Lampung. Dia juga menunjukkan bahwa kecenderungan menggunakan bahasa Indonesia lebih tinggi secara signifikan di kota daripada di kampung-kampung (Katubi, 2010).

Bahasa daerah sendiri dapat diartikan sebagai bahasa tradisional warisan turun temurun bagi masyarakat di tempat bahasa itu digunakan. Secara umum bahasa daerah berfungsi sebagai  lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, Sarana perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, sarana pengembangan serta pendukug kebudayaan daerah, bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. 

Namun saat ini bahasa daerah mengalami kondisi yang sama-sama menurun, bahkan banyak di antaranya telah punah. Kondisi tersebut tentu saja mengkhawatirkan mengingat fungsi bahasa daerah sangat penting.

Berdasarkan data Gambaran Kondisi Vitalitas Bahasa Daerah Di Indonesia Tahun 2020, sebanyak 11 bahasa daerah telah punah hingga 2019. Bahasa daerah yang telah punah tersebut berasal dari Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. 

Jika berdasarkan klasifikasi vitalitas atau kemampuan bertahan menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Dari 801 bahasa daerah yang tervalidasi sebanyak 37% berstatus aman, 19% stabil tetapi terancam punah, 3% mengalami kemunduran, 25% terancam punah, 5% kritis, dan 11% sudah punah. 

Bahasa daerah yang masih berstatus aman memang memiliki nilai persentase yang paling tinggi dibanding status yang lain. Namun, jika diamati jumlah ini relatif kecil karena sebesar 52% atau setara dengan 51 bahasa daerah yang tersebar di berbagai provinsi statusnya mengarah kepada kepunahan.

Kemudian bagaimana dengan kondisi Bahasa Lampung itu sendiri?

Berdasarkan Statistik Kebahasaan 2019 yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat 6 (enam) bahasa daerah yang ada di Provinsi Lampung. 

Keenam bahasa daerah yang sudah terverifikasi dan termutakhir menurut dialektologi dan sosiolinguistik tersebut di antaranya bahasa Lampung, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Bugis dan bahasa Basemah. 

Untuk bahasa Lampung sendiri terbagi menjadi empat dialek dengan wilayah penuturnya masing-masing, yaitu dialek Abung, dialek Pesisir, dialek Pubian, dan dialek Komering.

Pada tahun 2001 berdasarkan data yang diperoleh dari Summer Institute of Linguistics (SIL) bahasa Lampung menjadi salah satu dari 13 bahasa daerah terbesar dengan penutur lebih dari satu juta. 

Di antaranya yaitu, bahasa Jawa (75.200.000 penutur), bahasa Sunda (27.000.000 penutur), bahasa Melayu (20.000.000 penutur), bahasa Madura (13.694.000 penutur), bahasa Minangkabau (6.500.000 penutur), Bahasa Batak (5.150.000 penutur), bahasa Bugis (4.000.000 penutur), bahasa Bali (3.800.000 penutur), bahasa Aceh (3.000.000 penutur), bahasa Sasak (2.100.000 penutur), bahasa Makasar (1.600.000 penutur), bahasa Lampung (1.500.000 penutur) dan bahasa Rejang (1.000.000 penutur).

Namun kondisi berbeda di tunjukan berdasarkan data sensus penduduk 2010. Dengan menggunakan data bahasa yang dipakai sehari-hari pada bagian laporan Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010, bahasa Lampung seakan tergerus di rumahnya sendiri.

Dengan jumlah penduduk mencapai 7.581.948 jiwa 55 persen di antaranya sebagai penutur bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari. Sementara itu, bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi sehari-hari menempati urutan kedua (22, 74 persen) dan urutan ketiga adalah bahasa Sunda yang hampir delapan persen . Sedangkan untuk bahasa Lampung sendiri diperkirakan sekitar 13% dari keseluruhan (Suyanto, 2017).

Kondisi tersebut sebenarnya tidak terlalu mengejutkan jika melihat data asal suku bangsa atau etnis penduduk yang berada di Provinsi Lampung. Hal ini disebabkan etnis atau suku asli Lampung bukanlah mayoritas penduduk di Provinsi Lampung. 

Secara rinci penduduk Provinsi Lampung hampir 65 persen atau 4.856.924 jiwa adalah etnis Jawa. Penduduk etnis asli Lampung di tanah kelahirannya hanya 13,56 persen atau 1.028.190 jiwa. 

Kelompok etnis ketiga terbesar yang tinggal di Lampung adalah Sunda sebanyak 9,61 persen atau 728.684 jiwa dan disusul etnis dari Sumatra Selatan pada posisi keempat sebesar 5,40 persen atau 409.151 jiwa.

Selain faktor rendahnya etnis asli suku Lampung ada faktor-faktor lainnya yang juga berkontribusi menurunkan penggunaan bahasa Lampung baik secara kualitas maupun kuantitas.

Pertama, ditinjau dari segi pola kebertahanan dan pergeseran. Bahasa Lampung merupakan salah satu bahasa yang memiliki tingkat pemertahanan bahasa yang rendah. Hal ini dapat disebabkan karena sikap bahasa masyarakat penuturnya yang tidak loyal terhadap bahasa daerahnya. Sebuah bahasa daerah yang tidak dapat bersaing dengan bahasa lain dalam daerah yang sama bisa saja mengalami pergeseran dari bahasa yang berada pada ranah Tinggi (ranah agama, pendidikan, pekerjaan) ke bahasa yang berada pada ranah Rendah (ranah keluarga dan persahabatan). Jika bahasa tersebut terus terdesak, maka hal ini bisa saja menjadikannya sebagai bahasa yang sekarat dan pada akhirnya punah (Gunarwan 2006).

Dengan sikap yang tidak loyal terhadap bahasa Lampung oleh penuturnya kemudian seperti diketahui terdapat 5 bahasa daerah lainnya menyebabkan bahasa Lampung sulit bersaing.

Kedua, Tergeser oleh bahasa Indonesia. Faktor ini sebenarnya secara implisit tidak lepas dari pengaruh dimensi sosial politik yang melingkupi kehidupan masyarakat negara ini. Pengaruh bahasa Indonesia sejak lama telah dirasakan oleh berbagai bahasa daerah, yaitu sejak tahun 1928 ketika bahasa Melayu diberi nama bahasa Indonesia dan diikuti pada tahun 1945 menjadi bahasa negara, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36. Dengan demikian, secara otomatis bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi kenegaraan dan banyak dipakai pada ranah-ranah resmi (formal) seperti misalnya sebagai bahasa pengantar dalam acara-acara kenegaraan dan di lembaga-lembaga pendidikan. Persaingan dengan bahasa Indonesia yang pengaruhnya sangat kuat ini telah menyebabkan bahasa-bahasa daerah mengalami pergeseran (language shift). Bahkan bagi banyak orang Indonesia, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa primer sehingga tidak sedikit yang menggunakannya sebagai bahasa pertama, menggeser bahasa daerah (Gunarwan 2006: 96).

Ketiga, Bahasa Lampung hanya diajarkan secara alami. Berbeda dengan bahasa Indonesia dari mulai tingkat sekolah dasar bahkan hingga perguruan tinggi diajarkan secara struktural dan sistematis.

Keempat, anggapan bahwa bahasa daerah memiliki fungsi yang lemah. Era globalisasi sekarang ini yang terjadi dalam berbagai dimensi kehidupan manusia seperti ekonomi, sosial, politik, dan budaya telah mendorong penutur sebuah bahasa untuk secara berhasil dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan penutur bahasa lain yang berasal dari negara lain terutama negara yang berbahasa Inggris.

Persoalan kepunahan Bahasa daerah atau khususnya bahasa Lampungi tentu saja dapat berpengaruh pada kebijakan pemerintah secara nasional yang menghargai keberagaman dan turut memajukan bahasa daerah dalam rangka melestarikan aset kultural bangsa di bidang kebahasaan. 

Apabila proses kepunahan tersebut terus saja berlangsung tanpa ada usaha untuk dipertahankan dan didokumentasikan, maka kita akan kehilangan aset kultural yang sangat berharga bagi bangsa ini karena bahasa merupakan realitas budaya penutur sebuah bahasa. 

Selain itu, punahnya sebuah bahasa daerah dapat "mengubur" pula semua nilai-nilai budaya yang tersimpan dalam bahasa itu, kecuali apabila bahasa tersebut telah didokumentasikan dan ditransmisikan kepada orang lain sehingga nilainilai budaya yang bermanfaat dapat digunakan untuk kepentingan bersama.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi fenomena kepunahan bahasa perlu dilakukan berbagai upaya cerdas dan serius. Hal ini tidak saja dapat dilakukan oleh pihak pemerintah, tetapi juga oleh komunitas etnik penutur bahasa tersebut dengan cara tetap menjaga loyalitasnya kepada bahasa daerahnya sendiri agar tetap tinggi sehingga tidak terjadi pergeseran bahasa yang pada akhirnya dapat menjurus kepada kepunahan. 

Di samping berbagai upaya pendokumentasian, kajiankajian dalam berbagai perspektif, dan bahkan upaya-upaya revitalisasi terhadap bahasa-bahasa yang berada dalam proses kepunahan maka usaha menjadikan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang multilingual barangkali perlu dipikirkan secara lebih serius. 

Artinya, masyarakat diharapkan dapat menguasai sekaligus tiga bahasa yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional, dan bahasa etniknya sendiri dalam rangka melestarikan bahasa dan budaya daerahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun