"... Melihat Bahasa Lampung dalam kedudukannya sebagai bahasa ibu di orang Lampung itu sendiri juga mulai ada tanda-tanda mau punah, karna tidak dipakai.." Potongan pernyataan tersebut berasal dari video wawancara Teras Lampung bersama Dr. Farida Ariyani, M.Pd pada tahun 2014 lalu.
Dalam video yang berjudul "Wawancara Dengan Dr. Farida Ariyani: Masa Depan Bahasa Lampung" tersebut membahas banyak hal, di antaranya politik bahasa Lampung, program pendidikan bahasa Lampung, hingga mengenai tanda-tanda kepunahan bahasa Lampung.Â
Dijelaskan dalam video, yang mendasari Dr. Farida Ariyani mengatakan bahasa Lampung menunjukkan tanda-tanda kepunahan adalah hasil penelitian dari Asim Gunarwan.
Tidak jauh berbeda dengan pernyataan Dr. Farida Ariyani, M.Pd pada 2014 lalu, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung Eva Krisna mengatakan, "Jadi penutur di Kota Bandarlampung sangat mengkhawatirkan, dan kita tidak mendengarkan ada menggunakan bahasa Lampung. Menurut pemetaan teman-teman, bahasa Lampung ada di kabupaten, dan banyak yang muda menggunakan bahasa Indonesia karena kita heterogen jadi kecampur (bahasanya)." Pernyataan tersebut disampaikannya ketika launching penyusunan kamus bahasa Lampung Kantor Bahasa Provinsi Lampung pada 01 Maret  2021 lalu.
Pembahasan mengenai kondisi penggunaan bahasa Lampung yang mengkhawatirkan atau mengenai tanda-tanda kepunahannya bukanlah suatu yang baru.Â
Pada 1999 Asim Gunarwan dalam penelitiannya yang berjudul "The Encroachment of Indonesian upon the Home Domain of the Lampung Language Use: A Study of the Possibility of a Minor-Language Shift."Â
Dalam penelitiannya ia mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa Lampung dan bahasa Indonesia membentuk situasi diglosik. Dalam situasi itu, bahasa Indonesia ditempatkan sebagai "bahasa ranah tinggi" dan ragam bahasa Lampung berfungsi sebagai "bahasa ranah rendah".Â
Namun, bahasa Indonesia mendesak bahasa Lampung dalam ranah penggunaan bahasa di rumah. Dia menyimpulkan bahwa telah terjadi kebocoran diglosia pada penggunaan bahasa oleh orang Lampung. Dia juga menunjukkan bahwa kecenderungan menggunakan bahasa Indonesia lebih tinggi secara signifikan di kota daripada di kampung-kampung (Katubi, 2010).
Bahasa daerah sendiri dapat diartikan sebagai bahasa tradisional warisan turun temurun bagi masyarakat di tempat bahasa itu digunakan. Secara umum bahasa daerah berfungsi sebagai  lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, Sarana perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, sarana pengembangan serta pendukug kebudayaan daerah, bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.Â
Namun saat ini bahasa daerah mengalami kondisi yang sama-sama menurun, bahkan banyak di antaranya telah punah. Kondisi tersebut tentu saja mengkhawatirkan mengingat fungsi bahasa daerah sangat penting.
Berdasarkan data Gambaran Kondisi Vitalitas Bahasa Daerah Di Indonesia Tahun 2020, sebanyak 11 bahasa daerah telah punah hingga 2019. Bahasa daerah yang telah punah tersebut berasal dari Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.Â