Mohon tunggu...
Yusril Izha Mahendra
Yusril Izha Mahendra Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Ekonomi Pembangunan

Keberanian Itu Mewabah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memilih Memiliki Anak atau Tidak adalah Sama

23 Agustus 2021   07:49 Diperbarui: 23 Agustus 2021   07:58 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah mendapat tanggapan dari berbagai pihak mengenai keputusannya untuk tidak memiliki anak Gita Savitri memberikan penjelasan di Insta Stories miliknya. 

Dalam salah satu postingannya yang tidak lain respon atas pertanyaan netizen ia mengatakan "Di kamus idup gw, 'tiba-tiba dikasih' is very unlikely. Menurutku, lebih gampang gak punya anak daripada punya anak karena banyak banget hal preventif yang biasa dilakukan untuk tidak punya."

Beberapa waktu lalu persoalan mengenai keputusan tidak memiliki anak atau child-free ramai diperbincangkan bahkan menjadi tranding topik di Twitter. Persoalan yang sebenarnya bagi masyarakat Indonesia masih tabu menjadi ramai setelah pengakuan YouTuber Gita Savitri untuk tidak memiliki anak. 

Dilansir dari berbagai sumber, Gita Savitri yang telah menikah selama tiga tahun sejak 2018 dengan Paul Andre masih tetap dengan prinsip untuk tidak memiliki anak. Menganggap bahwa anak adalah tanggung jawab besar dan enggan memiliki beban adalah alasan pasangan tersebut memilih tidak memiliki anak.

Setelah lama berdebat tentang jenis kelamin anak seperti anggapan bahwa anak laki-laki lebih berharga dibandingkan anak perempuan. Kemudian perdebatan jumlah anak, antara anggapan banyak anak banyak rezeki dengan dua anak saja cukup. 

Kini kita diramaikan dengan perdebatan apakah akan memiliki anak atau tidak. Namun bila kita melihat jauh ke belakang istilah child-free telah ada sejak 1901 lalu. Sedangkan untuk praktiknya sendiri jauh lebih lama lagi sebagaimana dapat dilihat dalam Historical Trends In Childlessness. 

Di Bumi bagian Barat terdapat proporsi yang sangat tinggi dari wanita yang tidak memiliki anak (berusia di atas 45 tahun) dalam populasi yang lahir antara tahun 1850 dan 1914. 

Ini adalah di antara wanita yang sudah menikah dan belum menikah. Tingkat tidak memiliki anak sangat tinggi di Australia, mencapai lebih dari 30 persen untuk wanita yang lahir antara tahun 1890 dan 1914.

Beberapa faktor di balik kondisi tersebut adalah rendahnya tingkat pernikahan karena cara populasi didistribusikan antara kota dan daerah pedesaan, menunda pernikahan atau mengurangi tingkat pernikahan dalam menanggapi keadaan ekonomi dan peristiwa internasional seperti perang, dan 'laki-laki. -kekeringan' atau fenomena 'surplus perempuan' sekitar pergantian abad kedua puluh.

Dalam sebuah laporan yang berjudul Childlessness Falls, Family Size Grows AmongHighly Educated Women menunjukkan bahwa persentase wanita di Amerika berusia sekitar 40 tahun yang tidak memiliki anak berada pada tingkat terendah selama 20 tahun. Pada tahun 2014, sebesar 15% wanita yang berusia antara 40 sampai 44 tahun tidak melahirkan anak. 

Di mana turun dari sebelumnya 20% pada tahun 2005. Atau dapat dikatakan bahwa jumlah wanita yang memilih untuk tidak memiliki anak biologis meningkat cukup pesat. 

Meskipun faktanya keputusan tidak memiliki anak atau child-free sudah ada sejak lama dan mendapatkan perhatian cukup besar di dunia belahan barat, bagaimana dengan Indonesia?

Melihat apa yang terjadi pada Gita Savitri tentunya kondisi tersebut jauh dari kata menerima, atau sekedar untuk menghormati keputusan pribadi pun sulit. Terlebih keputusan Gita Savitri atau umumnya mengenai child-free bertentangan dengan filosofi "banyak anak banyak rizki" yang banyak dipegang oleh masyarakat Indonesia. 

Padahal pada dasarnya filosofi tersebut hanya akal-akal pemerintah kolonial Belanda dengan tujuan menjaga tenaga kerja yang besar dan prestise pemerintah colonial di mata dunia dengan adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi merupakan sebuah keberhasilan dalam memberikan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia (Latifatul Izzah, 2017).

Masih di sisi yang sama, adanya anggapan bahwa perempuan yang sempurna lahir dan batin adalah perempuan yang melahirkan anak mereka sendiri. Dengan adanya hal-hal semacam ini akhirnya menempatkan pasangan yang memiliki pilihan atau memutuskan untuk tidak memiliki anak (child-free) mendapat stigma negatif. sehingga hasilnya adalah stigma atau komentar negatif terhadap mereka atau bahkan terpaksa mengikuti arus (memiliki anak).

Namun pertanyaan mendasarnya, apakah pilihan untuk tidak memiliki anak adalah sebuah kesalahan? Sebagaimana stigma netizen Indonesia.

Apabila kita berkacamata pada teori fertilisasi Neo Klasik Becker menyatakan bahwa seorang anak dapat diklasifikasikan sebagai barang konsumsi yang bertahan lama (durable goods) dan mendatangkan kepuasan ataupun barang produksi yang dapat menghasilkan barang dan jasa tersebut.

"Bagi kebanyakan orang tua, anak merupakan pendapatan psikis (psychic income) atau sumber kepuasan, dan pada terminologi para ahli ekonomi, anak-anak dapat digolongkan atau dapat dipertimbangkan sebagai barang konsumsi yang tahan lama. Anak sering kali mampu menghasilkan pendapatan berupa uang dan barang produksi dengan baik. Selain itu, baik pengeluaran maupun pendapatan yang dihasilkan oleh mereka adalah tetap, namun bervariasi sesuai dengan usia anak, sehingga menggolongkan anak sebagai barang konsumsi dan barang produksi."

Lebih dalam apabila kita melihat salah satu kerang kerja teori tersebut yaitu permintaan anak, ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap anak. Di antaranya: 

(1) selera. Sebagai barang konsumsi yang dapat bertahan lama, anak diasumsikan dapat memberi nilai guna. 

(2) kualitas anak. Sebuah rumah tangga harus memutuskan tidak hanya berapa banyak anak yang dimiliki (family size) tapi juga harus menentukan berapa besar dan banyak biaya yang harus dikeluarkan. 

(3) pendapatan. 

(4) biaya. dan 

(5) penawaran. 

Jumlah anak dalam rumah dalam sebuah rumah tangga tidak hanya ditentukan oleh harga dari seorang anak, tetapi juga kemampuan rumah tangga tersebut untuk melahirkan anak.

Dari teori fertilisasi Neo Klasik Becker dapat kita simpulkan bahwa dalam memutuskan memiliki anak atau tidak dan jumlah anak merupakan sebuah keputusan dengan dasar rasionalitas. 

Ada cukup banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Sehingga dengan dasar tersebut ditambah preferensi masing-masing keputusan untuk memiliki anak atau tidak serta jumlahnya merupakan keputusan pribadi, di mana keputusan tersebut adalah keputusan paling rasional bagi dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun