Mohon tunggu...
Yusril Izha Mahendra
Yusril Izha Mahendra Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Ekonomi Pembangunan

Keberanian Itu Mewabah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memilih Memiliki Anak atau Tidak adalah Sama

23 Agustus 2021   07:49 Diperbarui: 23 Agustus 2021   07:58 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun faktanya keputusan tidak memiliki anak atau child-free sudah ada sejak lama dan mendapatkan perhatian cukup besar di dunia belahan barat, bagaimana dengan Indonesia?

Melihat apa yang terjadi pada Gita Savitri tentunya kondisi tersebut jauh dari kata menerima, atau sekedar untuk menghormati keputusan pribadi pun sulit. Terlebih keputusan Gita Savitri atau umumnya mengenai child-free bertentangan dengan filosofi "banyak anak banyak rizki" yang banyak dipegang oleh masyarakat Indonesia. 

Padahal pada dasarnya filosofi tersebut hanya akal-akal pemerintah kolonial Belanda dengan tujuan menjaga tenaga kerja yang besar dan prestise pemerintah colonial di mata dunia dengan adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi merupakan sebuah keberhasilan dalam memberikan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia (Latifatul Izzah, 2017).

Masih di sisi yang sama, adanya anggapan bahwa perempuan yang sempurna lahir dan batin adalah perempuan yang melahirkan anak mereka sendiri. Dengan adanya hal-hal semacam ini akhirnya menempatkan pasangan yang memiliki pilihan atau memutuskan untuk tidak memiliki anak (child-free) mendapat stigma negatif. sehingga hasilnya adalah stigma atau komentar negatif terhadap mereka atau bahkan terpaksa mengikuti arus (memiliki anak).

Namun pertanyaan mendasarnya, apakah pilihan untuk tidak memiliki anak adalah sebuah kesalahan? Sebagaimana stigma netizen Indonesia.

Apabila kita berkacamata pada teori fertilisasi Neo Klasik Becker menyatakan bahwa seorang anak dapat diklasifikasikan sebagai barang konsumsi yang bertahan lama (durable goods) dan mendatangkan kepuasan ataupun barang produksi yang dapat menghasilkan barang dan jasa tersebut.

"Bagi kebanyakan orang tua, anak merupakan pendapatan psikis (psychic income) atau sumber kepuasan, dan pada terminologi para ahli ekonomi, anak-anak dapat digolongkan atau dapat dipertimbangkan sebagai barang konsumsi yang tahan lama. Anak sering kali mampu menghasilkan pendapatan berupa uang dan barang produksi dengan baik. Selain itu, baik pengeluaran maupun pendapatan yang dihasilkan oleh mereka adalah tetap, namun bervariasi sesuai dengan usia anak, sehingga menggolongkan anak sebagai barang konsumsi dan barang produksi."

Lebih dalam apabila kita melihat salah satu kerang kerja teori tersebut yaitu permintaan anak, ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap anak. Di antaranya: 

(1) selera. Sebagai barang konsumsi yang dapat bertahan lama, anak diasumsikan dapat memberi nilai guna. 

(2) kualitas anak. Sebuah rumah tangga harus memutuskan tidak hanya berapa banyak anak yang dimiliki (family size) tapi juga harus menentukan berapa besar dan banyak biaya yang harus dikeluarkan. 

(3) pendapatan. 

(4) biaya. dan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun