Mohon tunggu...
yusril iza
yusril iza Mohon Tunggu... Lainnya - Volunteer

Belajar dari hal yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Palembang

Menjaga lingkungan hidup, salah satunya pelestarian Rumah adat palembang sebagai sikap peduli lingkungan

26 Februari 2024   02:37 Diperbarui: 27 Februari 2024   15:00 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Palembang. Sumber ilustrasi: SHUTTERSTOCK via KOMPAS.com/Ryan Zulqudsie

"Palembang tidak hanya dikenal dengan nama makanannya saja seperti pempek, boruge, tempoyak. Ibaratkan pempek atau semacamnyo sebagai metafora dari nama kota tersebut. Sehingga dengan menyebutkan nama makanan itu, kita teringat dengan kota palembang".

Palembang merupakan kota tertua di Indonesia. Menurut pemerintah Kota Palembang, Palembang telah berumur 1337 tahun yang itu diukur pada zaman prasasti Sriwijaya. Tertulis dalam prasastinya yakni tahun 16 Juni 682, dengan mendirikan Wanua (pemukiman) yang topografinya dikelilingi oleh air dan penggunungan. nama Palembang sendiri berasal dari akronim Pa dan Lembang. Pa diartikan sebagai tempat/tunjuk/keadaan, sedangkan lembang artinya tanah yang rendah/genangan air. secara kesimpulan Palembang dimaknai sebagai tempat yang digenangi oleh air.(palembang.go.id)

Sesuai dengan namanya, nenek moyang atau babuyutan dulu, memanfatkan air sebagai sumber kehidupan. Bahkan aktivitas yang dilakukan untuk bertempat tinggal jauh kata dari merusak lingkungan. Misalnya, untuk bertempat tinggal saja, rumah yang dibuat harus menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Tidak heran, ketika rumah orang dulu bercirikan panggung dan rakit. Sebab, rumah panggung dan rakit ini adalah rumah yang sesuai dengan keadaan tanah yang identik dengan rawa.
Keadaan ini saya rasakan sejak kecil hingga saat ini. Tempat tinggal saya berada di Kabupaten Musi Rawas Utara. Meskipun tidak tinggal di Palembang, tetapi secara adat dan geografi memiliki kesamaan, sebagai daerah yang identik dengan sungai dan rawa. Dikampung saya, rumah yang dibangun ada dua, yaitu rumah panggung dan rumah rakit. Rumah panggung ini sebagai rumah yang biasanya diisi oleh kelurga besar dan letaknya didaratan rendah, sebagai upaya pencagahan ketika air dalam. Begitu dengan rumah rakit, untuk masyarakat yang tinggal di atas sungai, dan biasanya untuk menampung getah karet yang nantinya dijual.

Rumah adat panggung Palembang, sangat bermanfaat dan sebagai destinasi bagi wisatawan dengan estetika yang ada. Bahkan di berbagai negara telah menjadi objek penghargaan nilai-nilai yang dapat dipandang sebagai kebudayaan adat. diberbagai negara seperti Chile dengan pulau Castronya, Pasco County dan Stiltsville di Florida, Hongkong dan Africa dengan desa terapung yang menampung 30 ribu penduduk (zuber angkasa: jurnal arsir).

Rumah panggung, memang menjadi opsi untuk bertempat tinggal yang tidak merusak tanah, dan tentunya bebas dari bencana seperti banjir. Rumah panggung dan rakit yang ada di Palembang menjadi contoh, bagaimana nenek moyang memikirkan hidupnya dengan menjaga kelestarian lingkungan. Mereka telah menjadi sejarah, bagi masyarakat Palembang untuk hidup berdampingan dengan alam.

Namun, Rumah adat yang di rawat oleh nenek moyang ini, hanya sebatas sejarah. Keadaan rumah adat saat ini, tidak lagi diterapkan oleh masyarakat Palembang. Adanya modernisasi Arsitektur rumah yang cenderung menggunakan bahan semen di atas tanah. Tentunya, bukan menjadi persoalan untuk masyarakat menggunakan arsitektur rumah yang lebih modern. Karena, dengan berkurangnya sumber daya alam, dan kesadaran masyarakat yang jauh dari kebudayaan adat menjadi pokok persoalan.

Mang!! 

Semakin banyak rumah yang minimalis ini, dengan gaya seperti perumahan, akan membutuhkan tanah yang kuat dan banyak. Akibatnya, yang menjadi korban salah satunya adalah rawa-rawa yang ada di Kota Palembang. Menurut Walhi Sumsel, Pembangunan perumahan mewah dan gedung perkantoran membuat luas rawa di Kota Palembang menyusut dari 22.000 Hektare menjadi sekitar 7.300 hektare. Selain itu juga proyek milik Pemeritah ikut serta dalam menghilangkan rawa di Palembang, seperti Pembangunan kantor Bank Sumsel di Jakabaring dengan luas 3 hektare, pembangunan kompleks perkantoran Pemerintah Provinsi Sumsel dan sara olahraga di Jakabaring seluas 80 hektare dan Pembangunan DPRD Kota Pelameng seluas 3 hektare.

Apa dampaknya dengan penyusutan rawa? 

Tentu yang terjadi adalah banjir. Menurut Ahli Prof Momon Universitas Sriwijaya bidang drainase pertanian mengatakan rawa yang menyusut itu menyebabkan
Banjir, karena dengan mengalih fungsi rawa menjadikan tanah tidak bisa menampung air.

Saat ini, Palembang sedang mengalami kebanjiran yang semakin parah. Untuk itu, perlu ada penanganan yang harus dilakukan oleh Pemerintah. Sedangkan menurut penulis, salah satu pencegahan banjir adalah merawat Rumah adat Panggung dan rakit, bila perlu meneruskan rumah adat sebagai kebudayaan Kota Palembang.

Mang!! 

Rumah adat panggung memiliki dampak positif bagi lingkungan hidup yang bebas dari bencana banjir.
1. Rumah panggung pelindung dari banjir, dengan tingginya rumah, menyebabkan masyarakat tidak akan mengungsi terhadap bencana banjir. Dengan struktur kayu yang kokoh dan kuat, sehingga tidak mudah runtuh.
2. Rumah panggung mengurangi situasi cuaca panas, sebab dengan menggunakan bahan kayu dengan atap terbuat dari tanah, dengan  ventilasinya banyak baik dari bawah dan jendela membuat angin dan suasana yang sejuk.
3. Rumah panggung ini, ramah terhadap lingkungan hidup. Menurut Center for International Forestry Research (CIFOR) penggunaan ruang bawah dapat digunakan untuk membudidayakan berbagai tumbuhan yang memiliki nilai gizi, obat tradisional, keindahan (tanaman bunga), ekonomi dan konservasi. Selain itu, rumah panggung tidak memerlukan banyak tanah yang menutupkan ruang air, sehingga dapat dikatakan, bahwa rumah panggung tidak merusak rawa-rawa yang ada, dan tidak menimbulkan penumpukan air, sehingga mengakibatkan banjir.
4. Penghuni rumah panggung tidak hanya satu keluarga. Sebagaimana dulu, orang tua bahkan penulis sendiri, masih memiliki adat seperti tinggal rumah bersama bibi dan paman. Rumah panggung memiliki ruang kamar yang banyak, jadi bisa tinggal dengan beberapa keluarga. Menurut penulis, rumah panggung efektif untuk mengurangi pembangunan rumah, yang mengakibatkan banyak lahan yang dipakai.

Mang!! Mungkin yang penulis tuliskan sebagai kepedulian bersama, dalam rangka menjaga lingkungan hidup, melalui kelestarian adat. Jadi penting sekali untuk merawat dan menjaga adat Wong Palembang, untuk tanah kita dan kelestarian kita. Solusi untuk lingkungan hidup yang bebas dari banjir, ialah menindak bagi masyarakat yang sering melakukan penimbunan rawa. Begitu juga dengan proyek pembangunan Pemerintah Kota, harus dilihat untuk membangun, supaya tidak menyebabkan adanya penumpukan air, yang kemudian meluas. Sanksi yang diberikan tidak hanya membuat oknum akan jerah, tentunya, strategi yang dibuat yaitu adalah melakukan sosialisasi melalui kesadaran adat yang sesuai dengan upaya pencegahn bencana bajit itu sendiri.

Mokaseh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Palembang Selengkapnya
Lihat Palembang Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun