HARI Jumat (12/2/2021), seorang rekan mengirim kabar duka, Ceu Euis Kartini, istri Kang Jalal wafat pada hari Kamis (11/2). Padahal Kang Jalal sendiri sedang dirawat intensif, karena diabetesnya sedang mengganas.
Tak bisa ke rumah duka, karena sedang di Pelabuhanratu, saya berencana menengok Kang Jalal saja di rumah sakit. Ternyata, ia lebih cepat menemui Allah, menyusul istri terkasih, Senin (15/2/2021), atau empat hari setelah belahan jiwanya wafat.
Ya! Satu lagi tokoh panutan pergi. Jalaluddin Rachmat, saya - sebagaimana banyak orang- biasa menyapanya Kang Jalal.Â
Pertama kali saya kenal namanya puluhan tahun lalu lewat buku Psikologi Komunikasi, karyanya, awal 1980-an saat saya mulai belajar menulis.
Pertemuan pertama, antara 1987-1988 ketika saya nyambi di Tabloid Jumatan Salam, selain sebagai reporter di Bandung Pos.
Bagi saya, ia guru terbaik. Terbuka dan menyenangkan diajak berdiskusi. Tajam dan jernih. Lugas. Rendah hati, bersedia meladeni siapa saja dengan sikap yang sama, juga pada wartawan ingusan seperti saya, waktu itu.
Kang Jalal meninggal dunia di Rumah Sakit Santosa, Kota Bandung setelah berjuang melawan penyakit diabetes yang diidapnya sejak lama. Dan, belakangan ada keluhan sesak napas.
Kabar kepergian pakar komunikasi ini menjalarkan duka cita di kalangan cendekiawan, jurnalis, seniman, aktivis, dan para penggiat pro demokrasi.
Berbagai kesan mengalir dari aneka kalangan, menunjukkan kedekatan Kang Jalal dengan berbagai lapisan masyarakat.
Jalaluddin Rakhmat adalah cendekiawan yang pemikiran-pemikirannya menginspirasi banyak orang.