Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Om Damy

1 Februari 2019   18:00 Diperbarui: 1 Februari 2019   18:17 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

INDONESIA kehilangan lagi tokoh pers. Damyan Godho, wartawan senior Kompas, meninggal dunia Selasa (29/1/19) dini hari di Kupang. Pendiri dan komisaris harian terkemuka di Nusa Tenggara Timur (NTT), Pos Kupang dan mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTT ini dimakamkan, Kamis (31/2/19).


PERTAMA bertemu Om Damyan Godho, pertengahan 1995 di kantor Persda (PT Indopersda Primamedia - kini Tribun) di Palmerah Jakarta, diperkenalkan oleh Mas Martinus Mamak Sutamat, Dirkel Persda.

Ia tampak gundah. Ketika itu, Pos Kupang baru saja ditinggal "bedol desa" oleh sejumlah wartawan dan redakturnya yang ikut Valens Goa Doy (alm) yang diberi kepercayaan mengelola media baru di Jakarta.

Selang beberapa hari kemudian, saya mendarat di El Tari, Kupang. Itulah untuk pertama kali saya menginjak pulau karang ini. Om Damy meminta saya membantunya merekrut calon-calon wartawan untuk menggantikan mereka yang hengkang.

Rekrutmen pertama, berhasil menghimpun dan menjaring empat calon. Kami melatihnya secara penuh. Hasilnya? Tak ada satu pun yang memadai.

 "Bisa dipaksakan, tapi akan menyiksa mereka sendiri dan bisa mengganggu sistem. Cari lagi!" kata Om Damy.

"Puk**** !!!" gerutunya (gerutuan sangat khas tanpa bermaksud omong kotor --hehe) saat gelombang kedua rekrutmen dan pelatihan, juga tak menghasilkan kandidat memadai.

Setelah berlangsung rekrutmen gelombang ketiga atau kira-kira sembilan bulan kemudian, barulah kami dapat calon yang memenuhi syarat. Sebagian di antara mereka kini menduduki posisi-posisi penting di Pos Kupang maupun di luar.

"Sedikit yang terpanggil, lebih sedikit yang terpilih," kata Om Damy saat itu agak berseloroh. Ia sedang melukiskan betapa sulitnya di Kupang, mencari orang-orang yang punya panggilan hati pada kerja jurnalistik.

Saya jadi paham, mengapa dia begitu keras mendidik dan menempa teman-teman yang hendak dan sudah bergabung di Pos Kupang. Hanya orang-orang militan lah yang akan bertahan.

Jangan bayangkan situasi dan kondisi setempat seperti saat ini. Sisi lain, infrastruktur, jalur distribusi, persebaran penduduk di provinsi kepulauan ini sungguh sangat jauh berbeda dengan kondisi di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, atau Papua.

Sekadar catatan, di Nusa Tenggara Timur itu ada 1.192 pulau --besar dan kecil, berpenduduk dan kosong-- dan baru 430-an pulau saja yang sudah bernama. Kondisi ini tentu saja tantangan sangat berat yang hanya akan bisa diterobos degan militansi tinggi ala Om Damy dan para awak Pos Kupang yang dipimpinnya.

Sebelum belajar ke Pos Kupang, saya sudah "disekolahkan" Persda di beberapa koran di Jawa dan Sumatera. Sarana, fasilitas dan infrastruktur di koran-koran itu boleh dibilang termasuk sederhana untuk ukuran sebuah industri koran.

Tapi, begitu masuk ke Pos Kupang, saya seperti sedang terlontar ke masa silam. Sampai pada proses pracetak, tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang digunakan di Jawa. Tapi begitu masuk proses cetak, ya ampun! Seperti masa sekitar tahun 70-an.

Sebagai ilustrasi, untuk mencetak 3000-4000 Pos Kupang saat itu, kami butuh waktu antara 6-7 jam! Mesin cetak semi manual yang hars melibatkan campur tangan manusia. Membalik kertas, memotong, mencetak, dan seterusnya.

Tiap malam puluhan orang --tetangga sekitar-- juga terlibat. Mulai pukul 03.00 belasan orang berderet di meja lipat di sisi lain percetakan. Mereka jadi juru lipat dan juru sisip koran tabloid delapan halaman itu!

Itu jika mesin tidak ngadat. Namanya mesin tua, ada saja gangguannya. Sampai-sampai pernah Om Damy meminta khusus pastor memberkati mesin itu. Menyembahyangi, kemudian memercikkan air suci. Toh, mesin tak jua mau kompromi, sesekali penyakitnya kambuh.

Sekali waktu, Om Damy mendatangkan paranormal. Upacara pun digelar di lantai pelat baja sisi mesin. Potong ayam dan mengucurkan darahnya di lantai. Lalu ditaruhlah telur di atas genangan kecil darah itu. Beberapa saat kemudian, darah terserap entah ke mana!

Paranormal itu bermeditasi, lalu bangkit bergerak ke arah mesin. Ia menunjuk sebuah titik hitam di sisi luar dinding baja mesin. Mengorek-ngoreknya sebentar, dan.... seperti ujung rambut, sepotong kawat mencuat. Ditariklah kawat itu, ternyata panjang, sperti terkait ke suatu mekanisme di dalam mesin.

Selain soal mesin dan keterbatasan infrasutrktur pendukung, kertas juga jadi masalah utama, karena sangat tergantung pada pengriman dari Surabaya. Kapal pengirim, tergantung cuaca. Pelabuhan masa itu dan angkutan laun belum tersentuh program tol laut seperti yang digenjot Jokowi.

Pernah sekali waktu, proses pracetak sudah rampung, tapi percetakan tak bisa bergerak karena kertas habis. Kiriman belum masuk karena kapal tertahan jauh dari pelabuhan, belum bisa merapat.

Menjelang tengah malam, Om Damy dan Domu Umbu Warandoy melesat ke seantero pojok kota Kupang, menggedori toko yang menjual kertas ukuran plano. Dapat! Beberapa rim, cukup untuk oplaag hari itu.

Mesin cetak pun bergerak. Dan, hari itu Pos Kupang terbit dengan kertas warna warni. Ada yang warna telur-asin, hijau pupus, kuning muda, putih, ada yang gabungan antara kertas putih dan warna lain!

Itu janya gambaran kecil yang nyata keadaan saat itu. Kini cerita itu tentu tinggal kenangan. Para kerabat kerja Pos Kupang telah mulai mereguk hasil kerja keras mereka yang tiada henti.

Koran yang dirintis Om Damy ini kini sudah mendarah daging dan jadi bagian hidup warga NTT, menjadi ruh informasi mereka, menjadi penerang, jadi penggerak opini publik, jadi pengontrol yang awas dan dipercaya.

Keadaan sekarang, mungkin sudah jauh berubah. Setidaknya, sarana, fasilitas, dan infrastruktur pendukung, mungkin sudah lebih baik dibanding 25-27 tahun silam.

Mungkin segalanya masih jauh tertinggal oleh perkembangan yang terjadi di daerah-daetah lain di luar NTT, terutama di Jawa.  Toh kerabat kerja asuhan Om Damy ini tetap dalam spiritnya, tetap dalam gairah yang sama dengan saat-saat saya mulai berguru kepada mereka 24 tahun silam.

Itu cuma sekelumit kecil kisah di tengah persentuhan saya dengan Om Damy dan Pos Kupang. Om Damy dan Pos Kupang tak bisa dilepaskan. Ia adalah kesatuan. Saya, merasa sangat beruntung pernah belajar dan "dilahirkan kembali" di Kupang.

Ketika 17 Januari 2019 saya dapat kabar Om Damy sakit, saya coba kontak dia. Saya lihat WA-nya sedang online, jadi saya tanya kabar. Tak kunjung ada respon. selang sehari, Rani Godho, putrinya, yang membalas. "Ya, Papa sakit dan sekarang istirahat," tulisnya.

Saya kontak Ira Godho, putrinya yang meneruskan jejak dia sebagai jurnalis. Ira merespon, papanya memang sakit, tapi kata Ira, Om Damy wanti-wanti berpesan agar tidak memberitahu orang-orang. Lho? Iya,

"Papa gak mau orang-orang jadi repot," tulis Ira. Duh, Om Damy. Di tengah sakit pun ia masih memikirkan orang lain. Selasa (29/1/19) selarik pesan WA masuk, Om Damy telah pergi!

Selamat jalan Om. Beristirahatlah dalam damai, kakak dan sahabatku. Allah melapangkan jalanmu ke surga. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun