UJIAN Nasional (UN) dimulai. Ketegangan yang melanda anak-anak kita, memasuki puncaknya sejak hari ini serentak di seantero pelesok tanah air. Diawali UN SMA/sederajat 16-18 April, lalu UN SMP/MTs dan SMPLB 23-26 April, kemudian SD/MI/SDLB, pada 7-9 Mei, proses yang berlangsung dalam suasana mencekam ini akan ditutup pertengahan Mei oleh UN susulan bagi SD dan sederajat.
Disebut menegangkan karena praktis sejak semester awal, para pelajar tingkat akhir di semua lembaga pendidikan dasar dan menengah itu sudah dihadapkan pada berbagai situasi yang seolah- olah sedang meghadapi pertempuran akhir yang seolah menentukan hidup dan mati.
Dibilang mencekam, karena pada pekan-pekan menjelang hari "H", ketegangan itu ditambah oleh pengerahan polisi nyaris di berbagai lini pendistribusian soal-soal, seolah berkas-berkas itu adalah barangn amat sangat berharga sekaligus berbahaya. Setiap orang yang bersentuhan dengan benda itu sebelum saatnya, seakan dicurigai akan melakukan tindak kriminal.
Ujian nasional yang semestinya merupakan proses wajar sebagaimana aktifitas keseharian para pelajar, telah berubah jadi momok menakutkan yang meneror para pelajar, sehingga semua pihak mengerahkan segala daya dan upaya untuk menghadapinya, mulai dari menggelar doa bersama, hingga berziarah.
Suasana yang demikian menegangkan ini sempat menciptakan hiteria massal di beberapa daerah. Sejumlah pelajar kerusupan, pingsan bersusulan, dan lain sebagainya, pada saat atau setelah melakukan doa bersama memohon agar lulus ujian.
Betul bahwa manusia perlu selalu terhubung dengan Sang Maha Pencipta, namun keterhubungan itu semestinya tidak hanya dilakukan manakala menghadapi sesuatu melainkan setiap saat pada tiap kesempatan. Demikian halna dengan proses belajar dan mengajar yang mestinya tidak hanya intensif menjelang ujian, melainkan setiap saat pada pada berbagai kesempatan.
Enam tahun masa belajar bagi siswa SD dan sederajat, serta Tiga tahun SMP dan SMA serta yang sederajat, tampaknya tak cukup memberi mereka pengetahuan memadai sehingga para guru menganggap perlu memberi les tambahan, pendalaman, dan pemerkayaan. Lalu apa sajakah yang diajarkan para guru kepada siswa-siswanya selama itu?
Kali ini, Ujian Nasional juga ditandai langkah-langkah pendahuluan berupa ikrar kejujuran dari para pelajar, sebuah ritus baru yang sangat mencederai hakekat pendidikan itu sendiri yang menekankan budi pekerti yang jujur. Ritus baru ini seolah sudah menghukum para pelajar, bahwa selama ini --sebelum UN-- mereka adalah sosok-sosok pembohong.
Jika diamati secara cermat, semua rangkaian proses menjelang UN termasuk "ikrar kejujuran" itu telah menempatkan para pelajar sebagai terduga pelaku jahatan karenanya perlu diawasi secara ketat. Negara telah mengasumsikan bahwa anak-anak didiknya akan berbuat curang.
Tak habis sampai di sana. Begitu memasuki ruang ujian para murid sudah dihadapkan pada situasi psikis yang demikian menekan oleh pengawasan ekstra ketat bahkan ada yang dilengkapi kamera tersembunyi. Disadari atau tidak, para penyelenggara pendidikan itu telah melanggar asas praduga tak bersalah atas muridnya sendiri.
Ujian Nasional adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah. Dalam pelaksanaannya, timbul berbagai persoalan yang antara lain bertumpu pada ketimpangan dan ketidakmerataan kemampuan serta infrastruktur di setiap daerah, namun para muridlah yang menanggung akibatnya.