Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Tersesat” ke Tanah Suci (1): Subhanallah!

3 April 2014   22:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perasaan saya makin tak menentu. Antara khawatir dan takut. Entah mengapa. Mungkin hanya karena sebagai orang biasa, bukan termasuk orang alim, apalagi saleh, tiba-tiba saya ‘tersesat’ ke Rumah Allah, di Tanah Haram yang suci.

Menjelang tengah malam, kami tiba di Kota Makkah. Subhanallah, saya bisa merasakan getaran spiritnya di antara pendaran gemerlap lelampuan. Masjidil Haram di depan mata. Ini nyata. Ada perasaan aneh yang menjalari seluruh jaringan tubuh saya. Seperti demam yang merambat perlahan. Tuhan! Aku datang ke rumah-Mu!

Umrah pertama pertama ini kami lakukan lewat tengah malam menuju dini hari. Saya pun larut di tengah gelombang manusia dalam tawaf yang bergemuruh. Saya kesulitan membaca sambil melafalkan keras-keras doa-doa yang tercantum pada buku panduan. Manusia begitu padat, seolah tak menyisakan ruang untuk bergerak. Apalagi berjalan sambil membaca buku doa.

Saya putuskan mengabaikan buku itu, dan mencekal lengan mutawif erat-erat. Dengan berimpit seperti itu, saya bisa mendengar jelas apa yang diucapkannya keras-keras. Saya membeo. Mengucapkan dengan keras pula kata demi kata. Tepat atau tidak apa saya lafalkan, tak tahulah. Tapi saya meyakini Allah Maha Mengerti.

Subhanallah....setiap menatap Kabah, mata berkaca-kaca. Airmata merebak tak terbendung. Kerongkongan tercekat, sehingga sulit melafalkan dengan benar apa yang saya dengar dari mutawif. Jadi, saya putuskan lebih banyak menatap langit dan menatap ke depan ke arah kerumunan atau ke sisi kanan.

Tapi, selalu saja kepala ini terpaling ke Kabah, dan selalu pula reaksi seperti tadi terjadi. Kerongkongan tercekat, mata kebanjiran tangis. Jadi, sepanjang tawaf itu saya lebih banyak berkutat mengendalikan emosi agar bisa tetap melafalkan doa-doa secara benar. Subhanallah!

Mungkin inilah yang disebut pangggilan. Saya teringat syair sebuah lagu pada naskah Balada Iduladha yang saya tulis pada 1989 untuk siaran nasional Lingga Binangkit di TVRI.
Lirik berjudul Kasidah Kepasrahan itu lagunya digubah Mutohar dan diaransemen Purwatjaraka:

Kami datang ya Tuhan
Tuk penuhi panggilanMU
Kurnia dan kuasa
hanyalah milikMU
Semua milikMU jua
Allah Yang Mahaagung!
: Labbaik Allahumma Labbaik!
(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun