[caption id="attachment_318309" align="aligncenter" width="725" caption="Menara sebuah masjid di sebuah daerah di antara Madinah dan Mekkah"][/caption]
KAMIS (13/3) adalah hari terakhir kami di Madinah. Subhanallah, cepat sekali waktu berlalu. Rasanya sangat berat harus segera pergi dari sini. Baru saja merasakan nikmatnya salat di masjid Rasul Sang Junjungan, tiba-tiba harus angkat kaki.
Ada rasa sesal, mengapa tak setiap saat mengabiskan waktu di dalam kesejukan batiniah yang dijalarkannya. Mata terasa panas saat menatap gerbang masjid yang agung ini dari jendela bus.
Sejak awal Mas Imam dan Mas Nur, dua pemandu kami, berpesan agar saat meninggalkan hotel sudah bersuci, karena akan memulai perjalanan rohani ke Rumah Allah. Dua helai kain putih mirip kafan, itulah busana yang harus dikenakan. Kami akan memulai ritus besar, umrah!
Ini dia! Tanpa selapis pun pakaian dalam, saya lilitkan dua lembar kain itu untuk bawahan dan atasan. Malam sebelumnya, Mas Nur, sang mutawif telah mengajari saya bagaimana mengenakan kain umrah. Atas bantuan istri, akhirnya dengan pakaian kebesaran itu pun membungkus tubuh saya. Waduh! Canggung luar biasa. Ada sesuatu yang ganjil.
Rasanya kok seperti tetap telanjang. Tak bebas bergerak. Permukaan kain yang kasar membuat seluruh tubuh terasa geli-geli gatal. Selain itu, saat melangkah kian kemari terasa kagok, hihihihhi.
Dari sofa tempatnya duduk, istri saya tampak mesam-mesem. Dia berusaha memahami ‘
‘penderitaan’ saya. Bayangkan, sekitar enam jam harus ‘telanjang’ dalam bungkusan kain kafan!
Banyak rekan tak yakin bahwa saya betul-betul pergi umrah. Mereka tahu, saya bukanlah orang saleh. Mungkin mereka pikir, jarang sekali melihat saya beribadah kok tiba-tiba berangkat ke Tanah Suci. Biarlah, ibadah adalah urusan pribadi setiap orang dengan Tuhannya. Itu yang saya yakini.
Tak sampai setengah jam perjalanan dari Madinah, kami singgah di Bir Ali, tempat miqat, atau batas yang ditetapkan untuk memulai ibadah haji dan umrah. Dari sini kami memulai ritus umrah. Di dalam bus, di awal perjalanan, mutawif menguraikan tausiah dan rincian tata laku berumrah serta makna dari tiap-tiap tahapannya. Saya berusaha menyimak baik-baik.
Perjalanan darat dari Madinah ke Makkah ini cukup panjang, kurang lebih enam jam. Sepanjang perjalan, kami hanya melihat gunung-gunug batu dan kegersangan. Angin kencang membawa suhu dingin dan debu-debu halus.
Mungkin ini karena wilayah Makkah dan sekitarnya termasuk kawasan beriklim transisi, antara pengaruh iklim Laut Tengah dan iklim musim (tropis dan subtropis). Tinggi-rendah suhunya berbeda seacara ekstrem dari satu musim ke musim lain. Pada musim panas bisa mencapai 48-50 derajat celcius. Sedangkan di musim dingin bisa mencapai 18 derajat celcius atau bahkan lebih rendah lagi.
Malam itu, udra dingin mengigit kami saat turun untuk sekadar minum kopi dan mengisi perut di sebuah kedai yang mirip tempat persinggahan di tepi jalan tol di tanah air. Sebagian ada yang kembali berwudu, menyucikan diri lagi sebelum melanjutkan berjalanan.
Perasaan saya makin tak menentu. Antara khawatir dan takut. Entah mengapa. Mungkin hanya karena sebagai orang biasa, bukan termasuk orang alim, apalagi saleh, tiba-tiba saya ‘tersesat’ ke Rumah Allah, di Tanah Haram yang suci.
Menjelang tengah malam, kami tiba di Kota Makkah. Subhanallah, saya bisa merasakan getaran spiritnya di antara pendaran gemerlap lelampuan. Masjidil Haram di depan mata. Ini nyata. Ada perasaan aneh yang menjalari seluruh jaringan tubuh saya. Seperti demam yang merambat perlahan. Tuhan! Aku datang ke rumah-Mu!
Umrah pertama pertama ini kami lakukan lewat tengah malam menuju dini hari. Saya pun larut di tengah gelombang manusia dalam tawaf yang bergemuruh. Saya kesulitan membaca sambil melafalkan keras-keras doa-doa yang tercantum pada buku panduan. Manusia begitu padat, seolah tak menyisakan ruang untuk bergerak. Apalagi berjalan sambil membaca buku doa.
Saya putuskan mengabaikan buku itu, dan mencekal lengan mutawif erat-erat. Dengan berimpit seperti itu, saya bisa mendengar jelas apa yang diucapkannya keras-keras. Saya membeo. Mengucapkan dengan keras pula kata demi kata. Tepat atau tidak apa saya lafalkan, tak tahulah. Tapi saya meyakini Allah Maha Mengerti.
Subhanallah....setiap menatap Kabah, mata berkaca-kaca. Airmata merebak tak terbendung. Kerongkongan tercekat, sehingga sulit melafalkan dengan benar apa yang saya dengar dari mutawif. Jadi, saya putuskan lebih banyak menatap langit dan menatap ke depan ke arah kerumunan atau ke sisi kanan.
Tapi, selalu saja kepala ini terpaling ke Kabah, dan selalu pula reaksi seperti tadi terjadi. Kerongkongan tercekat, mata kebanjiran tangis. Jadi, sepanjang tawaf itu saya lebih banyak berkutat mengendalikan emosi agar bisa tetap melafalkan doa-doa secara benar. Subhanallah!
Mungkin inilah yang disebut pangggilan. Saya teringat syair sebuah lagu pada naskah Balada Iduladha yang saya tulis pada 1989 untuk siaran nasional Lingga Binangkit di TVRI.
Lirik berjudul Kasidah Kepasrahan itu lagunya digubah Mutohar dan diaransemen Purwatjaraka:
Kami datang ya Tuhan
Tuk penuhi panggilanMU
Kurnia dan kuasa
hanyalah milikMU
Semua milikMU jua
Allah Yang Mahaagung!
: Labbaik Allahumma Labbaik! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H