Jika saja ilmuwan politik Robert Dahl ada di kampung ini, barangkali ia akan menyadari bahwa ada banyak definisi tentang politik yang perlu diluruskan. Barangkali ia akan paham bahwa politik ibarat sarang lebah yang di dalamnya terdapat banyak sel atau kamar-kamar yang meiliki wacana sendiri-sendiri.
Di satu tempat orang-orang bicara tentang mimpi-mimpi dan gagasan tentang hidup lebih baik, di tempat lain orang-orang hanya bicara mengenai bagaimana memenangkan dukungan, dan di tempat jauh lainnya, orang-orang menjadikan partai politik hanya sebagai jendela biasa untuk memenangkan kursi. Partai hanya pintu masuk saja, setelah itu diabaikan.
Barangkali demikianlah hakekat politik di tanah air kita. Ada kesenjangan yang cukup jauh antara politik di tingkat ideal, dan poltiik di level praktis. Ada jarak yang cukup lebar antara visi dan misi partai erta bagaimana visi itu dijabarkan seorang kader di level kampung. Para pengkaji politik seyogyanya sering-sering turun lapangan, dan memahami bagaimana politik bekerja pada cakupan yang paling kecil, melihat langsung bagaimana politik menjadi kekuatan yang menggerakkan dinamika, serta konflik-konflik yang kemudian muncul.
Namun, jika direnungi lebih jauh, antara kampung dan kota sama-sama memainkan bahasa politik yang seragam. Bahkan di level nasional sekalipun, semua orang berbicara tentang hal yang sama yakni kuasa. Ada seorang calon presiden yang selalu berbicara rakyat, tapi prusahaannya justru meruikan rakyat. Ada juga calon presiden yang selalu bicara kemandirian ekonomi, namun sehari-harinya dia justru tak menampilkan keteladanan. Malah, masa lalunya justru amat mengerikan untuk dibahas. Nah, bukankah politik di level nasional dan kampung tak beda jauh? Bukankah mereka sama berimpitan dan berada di rel kepentingan yang sama?
Di balik layar politik ada sejumlah individu yang sedang mengejar sesuatu. Politik hanya baju yang bisa diganti-ganti setiap saat. Ini adalah dunia tanpa integritas. Segala sesuatu bisa dimaksimalkan demi mendapatkan keuntungan. Politik kita menjelma sebagai panggung simbol yang menipu rakyat banyak. Banyak dari politisi kita yang hanya bermodal materi, tanpa memikirkan bagaimana menjaga amanah dan harapan pada banyak orang. Yang membedakan hanyalah cara.
Kalau di level pusat, yang dibahas media sosial adalah Jokowi, Ical, atau ARB, maka di kampung ini yang dibahas adalah beberapa caleg di acara joged bersama sejumlah tuak. Substansinya sama. Lantas, masihkan kita membedakan politik di level nasional dan di level kampung kalau semuanya memainkan praktik yang sama?
BACA JUGA:
Mereka yang Mendadak Tersenyum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H