Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Sana Jokowi, di Sini Acara Joged

16 Maret 2014   18:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:53 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_326755" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi (http://www.cambridge.org)"][/caption]

DI saat semua orang sibuk membahas Jokowi, baik pro maupun kontra, di kampung halamanku warga tak banyak tahu tentang wacana tersebut. Warga amat menikmati berkah jelang pemilihan umum (Pemilu). Ada banyak hajatan dan kumpul bersama serta makan-makan. Ada banyak orang yang tiba-tiba sering tersenyum, berbagi kebaikan, dan setelah itu menitipkan poster kampanye serta ajakan untuk memilih. Seorang warga bertanya, mengapa tak setiap bulan ada Pemilu?

***

DUA malam ini, musik tak henti berdentam-dentam di sekitar rumahku di Pulau Buton. Jika biasanya jalanan lengang dan orang-orang beristirahat pada pukul sembilan malam, kini tak lagi demikian. Selama sepekan terakhir, ada banyak acara berkumpul serta makan bersama yang dihadiri banyak orang.

Dalam banyak kesempatan, aku sering ikut dalam acara kumpul-kumpul itu. Biasanya pengundang hajatan adalah sosok yang dituakan di kampung. Kadang, pengundangnya adalah politisi lokal. Setelah makan-makan dan ngobrol, lalu acara dilanjutkan dengan presentasi seorang politisi atau calon anggota legislatif (caleg). Biasanya tak banyak pertanyaan. Semua orang manggut-manggut, bersepakat, kemudian memberi komitmen untuk memilih.

Aku sering penasaran dengan apa yang mereka kemukakan. Tak ada diskusi tentang politik akal sehat atau mimpi-mimpi untuk membangun daerah. Yang ada hanya sebuah janji atau komitmen bahwa akan ada 'amunisi', tapi sering disebut 'peluru' yang akan dikirimkan kepada semua orang yang akan memilihnya. Warga kampung sama mahfum bahwa 'amunisi' yang dimaksud adalah sejumlah uang.

Kadang-kadang, usai makan akan ada acara joged. Penyelenggara acara mengundang pemusik elekton dan penyanyi seksi untuk menghibur. Orang-orang berjoged, tertawa bersama, lalu pulang dalam keadaan lelah. Tak puas, sejumlah anak muda lalu melanjutkan acara dengan membeli minuman tuak lokal, kemudian lanjut bermain domino. Dalam keadaan mabuk, beberapa anak muda akan berbisik, "Tenang bos. Kami akan memilih."

Maka selesailah kampanye untuk memilih seseorang yang akan mengemban amanah orang banyak, menyuarakan keinginan dan aspirasi, menitipkan segala idealisme dan visi untuk membangun negeri. Usai kumpul, joged, dan mabuk, politik kemudian diaktualkan dalam bentuk janji untuk memberikan sesuatu. Tak ada panwas. Tak ada polisi. Semua sama larut dalam pertunjukan bersama untuk mendukung seseorang dengan banyak cara. Hanya ada satu teori yakni transaksi politik!

Jika di tempat lain, politik dikelola dengan basis rasional serta upaya-upaya persuasif untuk menggaet pemilih, maka di kampung ini tidaklah demikian. Para politisi berebut basis dukungan keluarga, lalu membangun lobi-lobi dan negosiasi dengan keluarga lain, lalu menjalin kesepakatan untuk dukung-mendukung.

Aku menikmati saat-saat ketika melihat betapa banyaknya teori dan wacana politik yang tak sesuai dengan kenyataan di kampung. Dalam banyak definisi politik, sering disebutkan bahwa politik adalah arena untuk mempraksiskan ideologi dan visi pergerakan partai. Sebuah partai politik jelas memiliki angan-angan tentang Indonesia masa mendatang.

Namun di kampung, tak ada yang disebut ideologi partai. Seorang pemabuk yang kerjanya hanya berjudi bisa menjadi pangurus teras sebuah partai berlabel agama. Apakah dia akan terpilih? Tentu saja. Sang pemabuk itu memiliki basis dukungan keluarga yang ril serta dana yang cukup untuk memenangkan pertarungan menuju parlemen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun