Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kartu Abraham di Tangan Jusuf Kalla

28 Januari 2015   16:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:14 8729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_393641" align="aligncenter" width="560" caption="Jusuf Kalla dan Abraham Samad (foto: sayangi.com)"][/caption]

PERSETERUAN antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan polisi telah membuka banyak borok di dunia sosial kita. Tiba-tiba saja media sosial riuh dengan kecaman kepada presiden. Tapi di balik kasus ini, ada sejumlah rahasia yang perlahan-lahan terkuak di hadapan publik. Namun siapkah orang-orang menerima banyak rahasia yang terungkap? Berikut beberapa rahasia.

***

HARI itu, pertemuan penting akan dilakukan di Istana Bogor, Jawa Barat. Presiden Joko Widodo memanggil Ketua KPK Abraham Samad dan Wakapolri. Pembicaraannya adalah bagaimana mencari titik temu atas perseteruan antara dua lembaga negara.

Abraham Samad datang lebih awal. Sebelumnya, ia bertanya pada seorang anggota pasukan pengamanan presiden (paspampres). "Apakah ada Wakil Presiden Jusuf Kalla di dalam?" Dijawab tidak ada. Abraham langsung masuk ke dalam ruangan dengan penuh percaya diri. Ia melihat presiden yang duduk sendirian, tanpa ditemani oleh Jusuf Kalla.

Di hadapan presiden, Abraham memang kerap memosisikan dirinya sejajar. Di antara semua pejabat negara, Abraham adalah orang yang khusus didatangi presiden saat terpilih. Orang dekat Abraham menuturkan bahwa saat itu, Jokowi mendatangi rumah Abraham. Biasanya, Abraham akan berada di rumah kaca, sebagaimana pernah  dituturkan Hasto Kristiyanto. Orang dekat Abraham, yang disebut Hasto sebagai "Mr D", juga menuturkan, di situlah Abraham sering bertemu dan berfoto selfie dengan seseorang.

Jokowi pernah datang dan memeluk Abraham dengan hangat. Mereka layaknya dua saudara dekat yang baru saja melalui sebuah momen penting. Abraham merasa dirinya berbeda dengan pejabat lain. Ketika dipanggil presiden, pejabat selevel menteri akan ditelepon oleh ajudan. Sementara Abraham justru didatangi oleh presiden. Tak hanya itu, presiden justru selalu memberikan pelukan hangat kepadanya.

Sejak Hasto mengungkap sisi lain itu, Abraham menghindari Jusuf Kalla. Di kalangan elite politik, isu yang dihembuskan Hasto terus bergema. Logikanya, pernyataan seorang sekjen sebuah partai politik pasti memiliki sedikit unsur kebenaran. Mustahil ia berani berbicara terbuka, jika tidak didasari oleh fakta yang kuat. Ia jelas tahu risiko hukum yang diterimanya jika mengeluarkan pernyataan keliru.

Di hadapan presiden, Abraham bisa percaya diri, namun tidak saat berhadapan dengan Kalla. Abraham gentar bertemu dengannya. Sosok Kalla sejak dulu dikenal sebagai satu-satunya orang yang berani berbicara ceplas-ceplos di hadapan Abraham. Kalla tahu bahwa dirinya tak punya satupun kasus yang bisa menjadi celah untuk dihantam dengan isu korupsi. Selain itu, ia tahu sepak terjang Abraham, termasuk saat-saat ketika Abraham pertama datang ke Jakarta dan berharap bisa terpilih jadi Ketua KPK.

Di masa awal ketika dirinya jadi Ketua KPK, ia selalu meminta masukan dari Kalla. Salah satu masukan penting yang diberikan Kalla adalah agar dirinya selalu berhati-hati dan taat asas. "Kau jangan kajili-jili sebagai pejabat. Kalau kamu kajili-jili, maka kamu tak akan lama berkiprah," katanya.

Bagi orang Bugis-Makassar, kajili-jili itu bermakna tindakan tergesa-gesa yang kemudian menjadi blunder. Kalla tahu persis sisi lain Abraham yang tak banyak diketahui oleh publik. Meminjam teori psikolog Erving Goffman, media hanya melihat sisi terang dari pria berkumis itu. Media tidak melihat sisi gelap, sebuah wilayah tersembunyi yang dirahasiakan olehnya. Salah satu sisi gelap itu kerap terjadi di 'rumah kaca,' satu apartemen yang menjadi saksi dari sisi lain Abraham.

Apakah Abraham serupa malaikat? Walter Lippman punya teori tentang 'pictures in our head'. Maksudnya, kita seringkali hanya ingin melihat sesuatu berdasarkan gambar dan kesan yang ada di kepala kita. Kita sering tak sadar bahwa gambar di kepala itu justru merupakan akumulasi dari semua pengalaman, sekaligus citra yang dibentuk media massa.

Sejak keberadaan KPK, kita selalu meyakini bahwa semua tindakan yang mengatasnamakan institusi itu selalu benar. Kita mengabaikan fakta bahwa di dalam lembaga itu ada sejumlah individu yang memiliki pengalaman sendiri-sendiri, boleh jadi memiliki masa silam yang kelam, atau malah punya banyak catatan buruk yan justru tak diketahui publik. Penting bagi kita untuk menggunakan analisis life history dan menelaah latar belajang, sebagaimana dipahami para antropolog dan sejarawan, demi memahami persoalan ini dengan lebih komprehensif.

***

HARI itu, Abraham datang ke Istana Bogor. Ia sangat percaya diri ketika melihat tak ada Kalla di dalam ruangan. Ia lalu masuk menemui presiden yang ditemani jajarannya. Baru beberapa menit duduk, tiba-tiba datanglah  Kalla, yang lalu datang dan duduk di dekat presiden. Abraham tersentak.

Diskusi itu perlahan mencapai titik temu. Presiden ingin menempatkan semua pihak pada posisi sejajar. Semua anggota Polri maupun KPK memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Tak ada di antara mereka yang memiliki kekebalan di mata hukum. Siapapun yang punya potensi salah, maka harus siap untuk menerima ganjaran atas potensi kesalahan yang telah dilakukan.

Memang, ada banyak interpretasi atas apa yang terjadi. Di luar istana, di jalan-jalan, dan di televisi, banyak orang yang menudin kalau sedang ada kriminalisasi atas KPK. Padahal, jika menalar persoalan ini, tindakan polisi justru punya logika yang sama dengan tindakan KPK. (1) Jika KPK bisa mentersangkakan polisi atas kasus tahun 2004, maka apa salah Polri jika mentersangkakan anggota KPK atas kasus tahun 2009? (2) Jika KPK menilai tindakannya tak ada unsur politis, maka kenapa pula hanya BG seorang yang jadi tersangka? Bukankah ada sejumlah jenderal lain yang bersama-sama dirinya, sebagaimana pernah diliput Tempo? (3) Jika KPK punya wewenang untuk menuduh orang lain atas masa silamnya, bukankah polisi pun punya wewenang sama?

Jika pertanyaan itu dikembangkan lagi, maka diskusi akan semakin menarik. Sayang, publik dan para intelektual kita seakan mengabaikan dialektika yang terjadi di dalam proses hukum dan pengadilan. Padahal, di dalam proses hukum, semua pihak akan mengeluarkan argumentasi dan bukti yang dimilikinya secara terbuka. Bukti satu akan berhadapan dengan bukti lain. Biarkan hakim dan publik menyaksikan mana yang bukti dan alibi kuat.

Sementara desakan agar kasus ini tidak masuk ranah hukum justru mengabaikan proses pencarian kebenaran yang sedang terjadi. Jika kasus ini dihentikan, maka benarlah teori yang mengatakan bahwa 'tindakan kolektif yang mengatasnamakan hukum seringkali dianggap lebih benar dari dialektika proses hukum.' Jika dihentikan, maka publik kehilangan kesempatan untu tahu banyak hal penting tentang seseorang.

Logikanya, jika merasa benar, biarkan semua proses hukum berjalan. Biarkan pemeriksaan berjalan, lalu buktikan bahwa semua tuduhan itu keliru. Sebagaimana kata Abraham yang sebenarnya mengutip dari Anas Urbaningrum, "Kebenaran akan selalu menang melawan kezaliman."

***

HARI itu, Abraham menunduk saat bertemu Kalla di Istana Bogor. Pemerintah tetap menjaga marwah Dewi Themis yang menutup mata dengan secarik kain. Ini bermakna bahwa Dewi Keadilan menutup matanya atas siapapun yang sedang bertikai. Memang, beberapa pihak hendak membuka kain itu agar Themis hanya memandang satu sisi. Padahal, kodrat keadilan adalah menutup mata, pertanda bahwa pedang hukum tak pernah memandang siapapun. Siapapun yang bersalah, maka pedang hukum akan menebas.

Ibarat permainan catur, kita sedang menyaksikan satu permainan yang menguras emosi. Presiden tetap tenang ketika menggerakkan bidak caturnya. Sementara wakil presiden jauh lebih tenang karena paham banyak sisi dari pemain yang sedang berada di dalam arena. Kalla dengan tenang mengatakan, "Kami tak dukung satu pihak. Kami mendukung semua agenda hukum dan pemberantasan korupsi."

Hmm, apakah kalimat Kalla yang menyebut Abraham sebagai 'kajili-jili' masih relevan hingga kini?

Bogor, 28 Januari 2015

BACA JUGA:

Sisi Lain Abraham Samad

Ke Mana Badik Abraham?



Keajaiban Menulis Warga Desa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun