Apakah Abraham serupa malaikat? Walter Lippman punya teori tentang 'pictures in our head'. Maksudnya, kita seringkali hanya ingin melihat sesuatu berdasarkan gambar dan kesan yang ada di kepala kita. Kita sering tak sadar bahwa gambar di kepala itu justru merupakan akumulasi dari semua pengalaman, sekaligus citra yang dibentuk media massa.
Sejak keberadaan KPK, kita selalu meyakini bahwa semua tindakan yang mengatasnamakan institusi itu selalu benar. Kita mengabaikan fakta bahwa di dalam lembaga itu ada sejumlah individu yang memiliki pengalaman sendiri-sendiri, boleh jadi memiliki masa silam yang kelam, atau malah punya banyak catatan buruk yan justru tak diketahui publik. Penting bagi kita untuk menggunakan analisis life history dan menelaah latar belajang, sebagaimana dipahami para antropolog dan sejarawan, demi memahami persoalan ini dengan lebih komprehensif.
***
HARI itu, Abraham datang ke Istana Bogor. Ia sangat percaya diri ketika melihat tak ada Kalla di dalam ruangan. Ia lalu masuk menemui presiden yang ditemani jajarannya. Baru beberapa menit duduk, tiba-tiba datanglah Kalla, yang lalu datang dan duduk di dekat presiden. Abraham tersentak.
Diskusi itu perlahan mencapai titik temu. Presiden ingin menempatkan semua pihak pada posisi sejajar. Semua anggota Polri maupun KPK memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Tak ada di antara mereka yang memiliki kekebalan di mata hukum. Siapapun yang punya potensi salah, maka harus siap untuk menerima ganjaran atas potensi kesalahan yang telah dilakukan.
Memang, ada banyak interpretasi atas apa yang terjadi. Di luar istana, di jalan-jalan, dan di televisi, banyak orang yang menudin kalau sedang ada kriminalisasi atas KPK. Padahal, jika menalar persoalan ini, tindakan polisi justru punya logika yang sama dengan tindakan KPK. (1) Jika KPK bisa mentersangkakan polisi atas kasus tahun 2004, maka apa salah Polri jika mentersangkakan anggota KPK atas kasus tahun 2009? (2) Jika KPK menilai tindakannya tak ada unsur politis, maka kenapa pula hanya BG seorang yang jadi tersangka? Bukankah ada sejumlah jenderal lain yang bersama-sama dirinya, sebagaimana pernah diliput Tempo? (3) Jika KPK punya wewenang untuk menuduh orang lain atas masa silamnya, bukankah polisi pun punya wewenang sama?
Jika pertanyaan itu dikembangkan lagi, maka diskusi akan semakin menarik. Sayang, publik dan para intelektual kita seakan mengabaikan dialektika yang terjadi di dalam proses hukum dan pengadilan. Padahal, di dalam proses hukum, semua pihak akan mengeluarkan argumentasi dan bukti yang dimilikinya secara terbuka. Bukti satu akan berhadapan dengan bukti lain. Biarkan hakim dan publik menyaksikan mana yang bukti dan alibi kuat.
Sementara desakan agar kasus ini tidak masuk ranah hukum justru mengabaikan proses pencarian kebenaran yang sedang terjadi. Jika kasus ini dihentikan, maka benarlah teori yang mengatakan bahwa 'tindakan kolektif yang mengatasnamakan hukum seringkali dianggap lebih benar dari dialektika proses hukum.' Jika dihentikan, maka publik kehilangan kesempatan untu tahu banyak hal penting tentang seseorang.
Logikanya, jika merasa benar, biarkan semua proses hukum berjalan. Biarkan pemeriksaan berjalan, lalu buktikan bahwa semua tuduhan itu keliru. Sebagaimana kata Abraham yang sebenarnya mengutip dari Anas Urbaningrum, "Kebenaran akan selalu menang melawan kezaliman."
***
HARI itu, Abraham menunduk saat bertemu Kalla di Istana Bogor. Pemerintah tetap menjaga marwah Dewi Themis yang menutup mata dengan secarik kain. Ini bermakna bahwa Dewi Keadilan menutup matanya atas siapapun yang sedang bertikai. Memang, beberapa pihak hendak membuka kain itu agar Themis hanya memandang satu sisi. Padahal, kodrat keadilan adalah menutup mata, pertanda bahwa pedang hukum tak pernah memandang siapapun. Siapapun yang bersalah, maka pedang hukum akan menebas.