"Akang yang dosa! Anak sakit diam saja!"
"Diam bagaimana, saya ini sedang menjalankan syariat, bila nur muhammad sudah turun, kamu juga terbawa-bawa."
"Bosan!"
Setelah berantem waktu itu Tardi pergi dari rumah. Dia berjalan tanpa tujuan hanya berbekal beberapa kepal beras. Akhirnya sampai ke musola pinggir sawah.
**
Tardi khusuk berzikir meski berkali-kali terganggu oleh kantuk. Menjelang subuh dia terbangun. Dia merasakan sesuatu yang aneh. Dipejamkan juga matanya tetap terlihat yang aneh itu. Ada cahaya yang bersinar dari langit. Cahaya yang begitu indah itu terasa oleh hatinya. Tardi lalu bergegas ke luar musola. Benar saja, di langit ada tangga cahaya yang jatuh ke suatu tempat.
"Ya Tuhan, ini sepertinya nur muhammad yang saya rindukan itu," gumam Tardi. "Begitu bahagianya meski hanya sekedar melihatnya. Tuhan, tunjukkan ke siapa cahaya itu turunnya. Saya ingin berguru kepadanya."
Tardi segera beres-beres, lalu pergi mengikuti tangga cahaya itu. Angin semilir menerpa kulit terasa segar, rupanya sudah waktunya pepohonan mengeluarkan oksigen. Setelah berjalan terantuk-antuk tapi tidak terasa lelah karena hati ingin segera melihat tempat jatuhnya cahaya, Tardi terpana melihat sebuah rumah begitu bercahaya. Ke rumah itu cahaya dari langit itu jatuh. Lalu terkejut, karena Tardi ingat rumah itu adalah rumahnya.Â
Cahaya dari langit itu seperti tidak berbekas karena terserap cahaya listrik yang dipasang di sana-sini. Kang Sobri, Jang Maman, Pak Nano, tetangga Tardi, masih belum selesai memasang lampu di halaman. Tardi menghampiri mereka. Kang Sobri, Jang Maman, Pak Nano, yang sekarang terpana melihat Tardi.
"Ada apa, Kang?" kata Tardi.
Ketiganya ragu-ragu untuk menjawab. Tardi sendiri lalu mendorong pintu rumah. Di tengah rumah, sesosok anak terbujur kaku, seluruh tubuhnya ditutupi kain samping. Iroh dan Itok menangis di sebelahnya, ditenangkan oleh tetangga-tetangganya. ***