Mohon tunggu...
Yus R. Ismail
Yus R. Ismail Mohon Tunggu... Penulis - Petani

suka menulis fiksi, blog, dan apapun. selalu berharap dari menulis bisa belajar dan terus belajar menjadi manusia yang lebih manusiawi.... berdiam dengan sejumlah fiksi dan bahasan literasi di https://dongengyusrismail.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Malam Semakin Malam

21 Oktober 2019   11:29 Diperbarui: 21 Oktober 2019   11:54 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tardi terbangun ketika angin semilir menerpa pipinya. Dia cepat bersila. Tardi memperhatikan jam dinding di depannya. Begitu ingat jarum jam itu sudah tidak berdetak, dia segera beranjak. Pemandangan remang pesawahan seperti siluet-siluet indah ketika Tardi mendorong pintu musola. Udara dingin segar merasuki dadanya.

"Sepertinya sudah lewat dari tengah malam," gumamnya. Ya, Tardi merasa yakin karena tenda-tenda di tengah sawah sudah padam. Tenda-tenda orang yang gacong itu menyebar di keluasan pesawahan. Ada satu-dua tenda yang bercahaya karena di dalamnya ada lampu. Tapi kebanyakan hanya siluet saja yang menandakan bahwa itu adalah tenda.

Tadi, sebelum tengah malam, di sekitar tenda-tenda itu masih ramai. Orang-orang ngagebot padi tidak berhenti, dari pagi sampai malam. Tardi selalu sesak melihatnya. Ya, karena orang-orang yang mengejar dunia itu, yang mengumpulkan bulir-bulir padi sebanyak-banyaknya itu, lupa dengan akhirat. Setiap adzan dikumandangkan Tardi atau Abah Sudira, selalu tidak ada yang berhenti bekerja lalu ke mushola untuk menunaikan ibadah sholat.

Tadi siang, setelah Tardi mengumandangkan adzan ashar, Abah Sudira pun tidak kelihatan. Tardi sempat bertanya, apakah Abah Sudira yang merebot mushola ini, akhirnya sama saja dengan yang lain? Ambuing, duniawi, duniawi. 

Hmm, kasihan Abah, guman Tardi. Ibadah mesti kalah dengan duniawi yang hanya sementara. Bagaimana bisanya nur muhammad menerangi hati bila ibadahnya terlantar. Seperti Si Iroh. Iya, Iroh itu istri Tardi. Bila sholat Iroh selalu terburu-buru.

**

Sudah tiga hari Tardi ikut beribadah di musola pinggir sawah. Maksudnya musola di pinggir pesawahan yang berbatasan dengan sungai. Kata Abah Sudira, dulu musola itu dibangun oleh Haji Sobana, maksudnya untuk mandi dan sholat para petani yang menggarap sawahnya. 

Sewaktu masih ada, Haji Sobana selalu sholat duhur dan ashar di mushola itu. Para petani pun mengikutinya. Setelah Haji Sobana meninggal, para petani penggarap itu mulai malas-malasan sholat. Akhirnya hanya Abah Sudira yang masih rajin ke mushola.

"Silakan bila ingin beribadah di sini, tidak usah meminta ijin segala. Musola ini rumah Tuhan, buat ibadah siapa saja," kata Abah Sudira waktu Tardi meminta ijin untuk bermalam. "Insyaallah, di sini terasa sunyinya, tenangnya, dan khusuknya."

Tardi sendiri sudah merasakan sunyi-malamnya. Tapi hati ini belum terasa khusuk. Belum bisa untuk khusuk. Pasti karena pikiran yang kadang  melayang kepada Iroh. Ya, tidak salah, istri dan anak itu adalah godaan buat orang yang mengejar ilmu akhirat. Itu juga sepertinya yang menghalangi nur muhammad turun menerangi diri. 

Setitik saja cahaya itu jatuh ke hati, seluas bumi akan terang benderang. Iroh, Iroh, kamu yang tidak mengerti urusan akhirat. Kamu yang sudah menganggap enteng bekal akhirat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun