Mohon tunggu...
Yus R. Ismail
Yus R. Ismail Mohon Tunggu... Penulis - Petani

suka menulis fiksi, blog, dan apapun. selalu berharap dari menulis bisa belajar dan terus belajar menjadi manusia yang lebih manusiawi.... berdiam dengan sejumlah fiksi dan bahasan literasi di https://dongengyusrismail.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Usia Boleh Tua Tapi Hidup Harus Simpel

10 Oktober 2019   00:59 Diperbarui: 10 Oktober 2019   01:01 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kok, judulnya mengesankan generasi tua tidak simpel? Saya sebenarnya belum merasa tua hehe, meski usia hampir 50 tahun. Dalam usia sebegitu saja saya pernah merasakan jaman Generasi Simpel dan yang dianggap tidak simpel.

Awal tahun 1970an di kampung tempat saya tinggal belum ada listrik. Penerangan masih memakai lampu petromak. Tahu kan lampu petromak? Generasi Simpel yang masih muda tentu gampang saja bila ingin tahu, tinggal googling dan kelihatanlah gambarnya.

Tapi lampu petromak itu hanya untuk orang kaya. Keluarga yang belum bisa membeli lampu petromak, biasanya memakai lampu minyak tanah kecil yang biasa disebut juga lampu teplok. 

Mungkin disebut lampu teplok karena menyimpannya nemplok (menempel) di dinding. Bila tidur di kamar menggunakan lampu teplok ini, subuh-subuh begitu bangun lubang hidung hitam-hitam. 

Saya sering saling menertawakan dengan teman bila melihat lubang hidung hitam-hitam. Belum mengerti bahwa itu berbahaya bagi kesehatan, karena berarti semalaman menghirup asap minyak tanah.

Pengalaman seperti itu tidak simpel? Dilihat dari jaman sekarang jawabannya bisa ya. Penerangan kok dibikin repot. Tinggal pijit saja saklar, menyala deh lampu.

Pengalaman merasa hidup tidak simpel tidak cukup sampai di situ. Awal tahun 1990an saat masih kuliah saya baru mengenal benda yang bernama komputer. Tabung layarnya besar lebih dari kardus mie instan. 

Bila mau dipakai menggunakan dulu disket dos. Bila saat dipakai lampu padam, komputer itu harus diinstal ulang. Waduh, repot. Benar-benar tidak simpel. 

Meski begitu, untuk saat itu, saya merasa kerja dengan bantuan komputer itu yang paling simpel. Tentu bila dibanding dengan mesin tik yang bila banyak salah di tengah kertas harus ganti kertas baru dan ngetik dari awal lagi.

Sebagai generasi yang baru mengenal komputer pada usia dua puluhan awal tidaklah gampang menyesuaikan diri. Saya pernah berkali-kali marahan dengan komputer. 

Seperti pacaran jadinya. Saya sudah hobi menulis sejak di bangku SMP. Cerpen dan puisi adalah bentuk tulisan yang sering dibuat. Pakai mesin tik sebenarnya sudah nyaman. Ketik sampai selesai, fotokopi untuk arsip, dan ketikan asli dikirim ke media massa. Begitu ada komputer saya menyimpan arsip tulisan di disket besar itu. 

Tentu saya yang baru mengenal komputer sangat percaya dengan disket. Ternyata sekali waktu saat perlu lagi printout sebuah cerpen, disket itu tidak bisa dibuka. Puluhan cerpen hilang begitu saja. Saya pun ngambek. Sekitar dua minggu saya tidak mau menyentuh komputer.

Tidak simpel, kan? Ya, tidak simpel bila dilihat dari jaman sekarang. Mengarsipkan tulisan jaman sekarang, selain bisa disimpan di flash disk, juga bisa di email, blog, atau Kompasiana agar bisa dibaca juga oleh banyak orang. Simpel saja. Jangan dibikin repot.

Itulah pengalaman saya yang mengesankan generasi tua tidak simpel. Padahal bukan orangnya, bukan generasinya, yang tidak simpel. Hanya jamannya saja yang belum sampai. Ya, karena usia boleh tua tapi hidup harus masuk Generasi Simpel.

Pengalaman pengaturan finansial saya mengesankan seperti itu. Awalnya suka ada keraguan, atau mungkin kemalasan, untuk mencoba teknologi baru. Seperti awalnya mengenal listrik, komputer, dan kemudian internet. Tapi setelah dicoba, eh ternyata gampang untuk simpel.

Pengalaman saya dengan BCA mengisyaratkan seperti itu. Saya sudah punya nomor rekening BCA sejak tahun 2000an awal. Awalnya untuk merespon digitalisasi media massa untuk menyelesaikan urusan finansial. Bila ada tulisan saya yang dimuat, media massa tidak lagi mengirim honornya via wesel. Tapi mereka meminta nomor rekening untuk mentransfer. Pilihan saya adalah BCA.

Selanjutnya ternyata kebutuhan sistem finansial saya tidak hanya menerima transfer, tapi juga harus mentransfer ke no rekening lain. Belanja online, bayar listrik, isi kuota internet, dsb. Lumayan lama saya menggunakan kartu atm untuk mentransfer sejumlah uang. Lama-lama bermasalah juga. Pertama rumah saya pindah ke perkampungan yang jauh dengan mesin atm. Pernah juga saat sudah masuk ke mesin atm, eh kartunya ketinggalan.

"Dibikin simpel saja, daftar BCA mobile," kata istri saya.

Saya yang sekian lama berpikir mendaftar BCA mobile pasti ribet, akhirnya setuju. Bagaimanapun hidup harus Dibikin simpel. Biarlah daftar ribet tapi kan hanya sekali. Lalu dengan diantar istri dan anak yang baru kelas satu SD, saya ke kantor BCA cabang Sumedang. 

Kenapa mesti diantar rombongan? Haha, awalnya saya siap-siap saja. Anak saya ingin ikut karena pulang dari bank BCA akan membeli sesuatu. Saya ajak istri sebagai persiapan, bila di bank lama dan anak saya tidak sabaran ingin pulang, istri saya bisa menenangkan.

Setelah dipersilakan oleh pak satpam yang ramah, diambilkan nomor antrian, saya sekeluarga ke kursi tunggu. Agar menunggu tidak bikin bete, saya mengambil buku di rak ruang tunggu. 

Humor Ala Gusdur, itu judul buku yang saya pilih. Anak saya langsung tertarik dengan permen di depan Customer Service (CS). Saya memperhatikan anak karena takut mengganggu. 

Ternyata Ibu CS itu dengan tersenyum mempersilakan anak saya mengambil permen. Anak saya pun dengan gembira menghampiri ibunya yang sudah duduk di tempat tunggu.

Saya mulai membaca buku humor itu. Halaman awal berkisah saat Presiden Gus Dur menghadiri sebuah acara internasional. Pengisah anekdot ini adalah wartawan luar negeri yang saya lupa namanya. Menurut si wartawan, acara yang dihadiri para kepala negara dan wakilnya itu terasa sedikit tegang dan penuh ja-im alias menjaga image.

"Pemimpin negara yang kumplit adalah kami, dari Indonesia." Kira-kira Presiden Gus Dur berkata begitu. "Saya sebagai presiden tidak bisa melihat. Dan wakil saya, Ibu Mega, tidak bisa bicara." Hadirin tertawa sejenak. Tapi setelah itu suasana menjadi cair.

Baru anekdot pendek itu yang saya baca saat nama saya dipanggil. Tidak sampai lima menit aktivasi BCA mobile selesai, termasuk Ibu CS menerangkan yang saya tanyakan. Hah, segampang itu? 

Pertanyaan itu lebih mengesankan lagi setelah saya mencoba bertransaksi. Selain bisa cek saldo, mentransfer juga bisa lewat hp. Ada lagi satu fitur BCA mobile yang membuat saya menyesal tidak sejak awal mengaktifkannya, yaitu fitur Cardless.

Fitur Cardless ini memfasilitasi nasabah untuk bertransaksi tanpa kartu atm. Tinggal memasukkan nomor handphone yang terhubung dengan BCA mobile dan Kode Transaksi, transaksi finansial pun bisa dilakukan. Tidak ada lagi raut wajah sedih atau muka masam karena ketinggalan kartu atm bagi pengguna fitur Cardless.

Saat pulang saya bergumam, "Pantes kalau September 2019 lalu BCA dipilih majalah Forbes sebagai salah satu perusahaan dari Indonesia yang masuk 200 besar se-Asia Pasifik yang berpendapatan di atas  1 miliar dolar AS."

Setelah itu hidup saya merasa lebih simpel.

 

10-10-2019

Salam simpel

YRI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun