Mohon tunggu...
Yus R. Ismail
Yus R. Ismail Mohon Tunggu... Penulis - Petani

suka menulis fiksi, blog, dan apapun. selalu berharap dari menulis bisa belajar dan terus belajar menjadi manusia yang lebih manusiawi.... berdiam dengan sejumlah fiksi dan bahasan literasi di https://dongengyusrismail.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Kabayan Dapat Hadiah

19 Februari 2019   07:37 Diperbarui: 19 Februari 2019   07:46 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak hanya heboh sekampung waktu Si Kabayan mendapat hadiah uang Rp 100 juta, tapi juga geger senegara. Orang-orang pada memuji keberanian Si Kabayan. Ya, meski sekarang ini sudah jaman internet, tapi tidak banyak yang seberani Si Kabayan. Begini ceritanya:

Di kampungnya Si Kabayan termasuk orang yang paling miskin. Rumahnya berdinding bilik (anyaman bambu), lantainya palupuh (juga dari bambu yang dibelah-belah), atapnya daun-daun kering. Rumah yang tidak sesuai dengan jaman now. Tapi tidak begitu menurut Si Kabayan. Mau jaman apapun, pemimpinnya siapapun, kalau miskinnya keterlaluan ya begitu keadaannya.

Tapi meski rumah butut (jelek) uang tidak punya, Si Kabayan mah tetap malas bin tidak mau kerja. Terpaksa mau kerja karena tidak ada lagi saudara dan tetangga yang sodakoh atau minjamin beras. Karenanya waktu Mang Ulis (juru tulis desa) menawari pekerjaan, Si Kabayan langsung menyanggupi.

"Kabayan, kamu sekarang menjadi warga yang diutamakan," kata Mang Ulis. "Desa punya pekerjaan yang ditunjuk langsung dari Jakarta, dari pusat negara siah. Kata gegeden (pejabat) dari Jakarta itu, kamu dan warga sepertimu yang harus mengerjakan proyek ini. Kamu semua teh sangat dihormat oleh negara."

"Wah, proyek apaan, Mang Ulis?" tanya Si Kabayan asal ngomong saja. Menurut pengalamannya, bila Mang Ulis datang paling ngasih kabar besok harus kerja bakti.

"Membuat Toilet Umum di pinggir jalan ke kebun."

"Sok pamohalan (tidak mungkin), buat apa Toilet Umum? Petani yang mau ke kebun mah tidak usah ke toilet, jongkok saja di balik pohon, beres persoalan."

"Hiss...! Kamu jangan menghina! Ini sesuai dengan sebagainyah desa yang maju, terdepan dan modern... harus ada Toilet Umum."

Si Kabayan nyengir.

"Kamu harus mau dan bisa jadi tukang tembok atau laden. Diupah dan dikasih makan setiap hari oleh Dana Desa," kata Mang Ulis.

"Nah, kalau ngomong dari tadi begitu, saya setuju. Membuat Toilet Umum pasti bagus. Uing (saya) pasti bisa dan mau. Apalagi bila ada DP duluan," kata Si Kabayan. Lalu berbisik, "Si Iteung sudah hampir seminggu hanya merebus singkong karena tidak punya beras."

"DP tidak ada. Tidak boleh. Begitu aturannya. Tinggal ke warung dan perlihatkan sendok tembok. Beres pembangungan toilet, lunasi semuanya."

Si Kabayan ngajak bersalaman karena setuju.

Besoknya Si Kabayan berangkat ke tempat kerja. Ada 10 orang warga yang diminta bekerja membangun toilet umum itu. Semuanya termasuk warga yang paling miskin di kampung itu. Warga yang kerjanya serabutan, tidak punya penghasilan tetap, dan tidak punya kebun, apalagi perusahaan.

Ya, begitulah instruksinya. Dana Desa dalam pelaksanaannya harus Padat Karya Tunai, artinya harus mempekerjakan warga yang tidak punya pekerjaan tetap atau warga yang berpenghasilan minimal.

Belum juga bekerja, betul saja sudah ada lalawuh (makanan) kopi dan kue-kue dan kupat-gorengan. Si Kabayan semangat membuat kopi, sarapan kupat-gorengan dan mengisap rokok nikmat sekali. Waktu Pak Kades berpidato Si Kabayan mengangguk-angguk seperti yang memperhatikan. Padahal sedang merasakan nikmatnya merokok sambil berjemur dengan perut yang kenyang.

Pekerjaan yang 10 orang itu termasuk bersemangat. Semuanya saling membantu dan mendukung. Termasuk Si Kabayan, karena tersemangati makanan dan rokok. Sepuluh hari kemudian toilet umum itu sudah berdiri. Sebelum pulang yang 10 orang itu dipanggil seorang demi seorang. Semuanya senyum-senyum gembira dikasih amplop. Si Kabayan juga begitu. Tapi waktu membuka isi amplop, bibir Si Kabayan langsung monyong. Waktu 9 orang warga lainnya pulang, Si Kabayan menemui Mang Ulis.

"Mang Ulis, kira-kira dong. Masa dibayar tiga puluh ribu sehari. Kan waktu Pak Presiden bubulusukan ke pembangunan Dana Desa, katanya upahnya harus normal. Bila tidak 100 ribu sebagai tukang, ya 80 ribu sebagai laden," kata Si Kabayan.

"Kata siapa?" Mang Ulis membentak.

"Kata koran. Waktu uing baca bungkus ikan asin juga begitu."

"Ingin upah segitu, pergi saja kerja di koran."

Si Kabayan penasaran. Upah Rp 300 ribu rupiah itu dikasihkan setengahnya ke Si Iteung, istrinya, setengahnya lagi buat ongkos ke kota. Si Kabayan mendatangi kantor koran. Tentu saja redaksi koran gembira waktu tahu perkara yang dibawa Si Kabayan. "Dana Desa di Kampung Si Kabayan Menyiksa Warga Miskin", begitu judul koran besoknya.

Dengan cepat berita itu menjadi viral. Media online, media sosial, televisi, ramai-ramai membahas. Tentu sesuai keunikan internet, berita itu jadi meluas dan melebar dan meninggi. KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) lalu menangkap Pak Kades, Mang Ulis, dan perangkat lainya yang terlibat. Ternyata setiap Rp 100 juta Dana Desa yang dibuat membangun infrastruktur hanya 50-60 persn saja yang disalurkan.

Si Kabayan molohok (bengong) waktu dikasih hadiah uang Rp 100 juta oleh KPK. ***

Cerpen lucu ini pernah dipublikasikan majalah Mangle (20-26 Desember 2018) yang berbahasa Sunda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun