Berpuluh tahun kemudian, seorang walikota menangis di hadapan Ibu dan saya. Dia bersedih karena kejahatan, terutama yang terselubung, membuat kotanya yang subur-makmur itu merana.
"Kota kami punya lembaga yang menangkapi penjahat, namanya KPK alias Komite Pemberantasan Korupsi. Tapi setiap KPK menangkap penjahat, lalu pengadilan memenjarakan mereka, mereka itu selalu tersenyum di depan kamera. Lalu mengepalkan tangan seolah pahlawan yang menyemangati rekan-rekan seperjuangannya," kata Tuan Walikota itu dengan suara sedih.
Saya melihat foto-foto dan video yang dibawa walikota itu.
"Dia memang telah kembali, Ibu," kata saya sambil melirik Ibu. "Tapi Tuan Walikota ini juga yang andil mengundangnya. Penjara itu tidak ada apa-apanya bagi Dia. Dia itu banyak uangnya. Mengapa dikasih kesempatan lagi setelah terbukti kejahatannya."
"Mungkin saat peraturan itu dibuat, Dia sedang tersenyum," kata Ibu.
Tuan Walikota menunduk sedih. Entah mengerti entah tidak. ***
Sumedang, 26-27 November 2018
Cerpen ini pernah tayang di Tribun Jabar. Sengaja tayang lagi di ini, karena saya ingin menulis sedikit pengalaman menulis (mengirim cerpen) ke Tribun Jabar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H