Bab 1: Aku Kuat
"Astaghfirullah ... Kuatkan hamba Ya Allah."
Ghina terus mendebah dadanya sembari membaca dengan seksama berita viral di media sosial. Seorang Polwan tega membakar suaminya sendiri yang juga berprofesi sebagai Polisi dengan menyiram bensin. Gara-gara gaji ke tiga belas tersisa delapan ratus ribu rupiah. Yang harusnya dua juta delapan ratus ribu rupiah.
"Nggak mungkin seorang wanita bisa melakukan tindakan nekat kalau tidak ada sebab."
Tak mau menghujat dan menghakimi. Ghina terus mencari informasi sedetail-detailnya hingga dia menemukan jawaban. Karena melihat permasalahan dari dua sisi itu sangat penting.
"Ternyata gara-gara judi online sang suami sampai menjual mobil. Kondisi si Polwan juga baru melahirkan bayi kembar. Pantas istrinya murka, apalagi di fase baby blues."
Air mata Ghina terus menetes, membayangkan nasib pernikahannya juga tak sebaik Polwan yang membakar suaminya. Ada banyak genangan kesedihan yang ditahannya entah sampai kapan.
Pikiran untuk mengakhiri hidup selalu saja muncul saat Ghina merasa frustrasi. Namun dengan cepat dia halau dengan mencari hiburan agar tidak sampai kalut. Setiap hari berperang dengan batinnya sendiri, berusaha mewaraskan diri agar mentalnya tidak down. Untuk saat ini Ghina memilih diam dan banyak mengalah. Meski hatinya hancur lebur.
"Ghinaaaa..."
Teriakan melengking itu membuat Ghina tersentak. Buru-buru ditutupnya aplikasi medsos di ponsel bercasing merah. Lalu dilemparnya ke ranjang. Perempuan muda dengan rambut lurus yang mengenakan daster motif bunga segera menghampiri Bu Darwati, mertuanya.
"Iyaa, Bu."
Tatapan tajam Darwati kepada menantunya menunjukkan sorot ketidaksukaan.
"Iya iya. Kamu lihat ini! Rumah berantakan. Nggak ada bersih-bersihnya. Apa nggak bisa ngajari anak-anakmu kebersihan?"
Ghina hanya menghela napas panjang, tak membela dirinya karena tak mau menambah runyam konflik dengan mertuanya. Setiap hari dia mendapat protes keras dan selalu ada pemicu pertengkaran. Tak ada yang benar di mata Darwati, Ghina hanyalah menantu yang buruk dan tidak berguna.
Sembari mendengar Omelan Darwati, tangan Ghina sigap membersihkan mainan yang berserakan di lantai. Lalu mengajak ketiga anaknya untuk membantu membereskan.
Tak ada yang salah dengan anak-anak Ghina. Memang seusia mereka senang bermain. Sudah sewajarnya rumah berantakan lalu kembali rapi setelah selesai. Ghina tak pernah mencubit putrinya semarah apapun Darwati padanya. Dia anggap ocehan mertuanya hanya angin lalu.
"Rumah banyak semut, kotoran di mana-mana. Haduh ... Mana bisa sembuh migranku kalau gini. Mulai besok kurung anakmu di kamar. Aku nggak mau lihat rumah kotor."
Untuk yang satu ini Ghina terpaksa buka suara.
"Tapi, Bu. Anak-anak butuh tempat bermain yang lapang. Di kamar penuh barang dan sempit. Ghina izin memakai halaman depan untuk bermain anak-anak. Ibu nggak usah khawatir setelah selesai bermain nggak akan ada kotoran satupun yang tertinggal. Semua bersih seperti semula."
"Pokoknya aku nggak mau. Sudah cukup para tetangga mencibir. Malu sama mereka kalau main ke sini. Apalagi teman-teman pengajian banyak yang bilang rumahku seperti kapal pecah. Perkara kamar sempit itu urusanmu. Jangan libatkan aku."
Darwati langsung pergi dan masuk ke kamarnya. Tak mau tahu perasaan menantunya. Sementara Ghina masih harus melanjutkan pekerjaan lainnya sebelum Abiyan, suaminya datang.
Dikesampingkan jauh-jauh sakit hatinya. Dia tak mau membebani suaminya dengan keluh kesahnya tentang mertua yang ujung-ujungnya memicu pertengkaran hebat. Ghina lagi yang disalahkan Abiyan, karena kurang sabar.
"Apa susahnya sih mengalah? Sudah lima tahun menikah, masih nggak ngerti sikap ibu. Nggak usah dilawan, diam saja. Nyesel aku nikah sama kamu."
Begitu entengnya Abiyan memarahi Ghina habis-habisan. Yang harusnya menyesal itu Ghina karena harus dituntut untuk memahami semuanya. Dituntut untuk selalu kuat. Kuat disalahkan, kuat direndahkan, kuat diremehkan, kuat dihina, kuat nggak dianggap. Abiyan lupa doa istri juga kuat menembus langit.
Kalau sudah begini Ghina tak bisa berucap apa-apa selain menangis dalam diam. Begitu rendahnya seorang istri tidak berpenghasilan di hadapan suaminya. Padahal pilihan tidak bekerja karena Ghina menaati Abiyan. Andai dia mau, banyak tawaran dosen di kampusnya, tapi sengaja dia tolak karena tak mendapat restu.
"Jam segini rumah masih kotor? Kamu ngapain saja dari tadi? Lulusan S2 malasnya bukan main."
Darwati kembali mengomel dengan nada suara tinggi. Diabaikannya setumpuk baju yang menggunung di meja sudah Ghina setrika rapi. Semua keburukan Ghina disebutkan satu per satu dan dibandingkan dengan menantunya yang lain. Ucapan kasar, sumpah serapah terus keluar dari mulut Darwati. Padahal gelar haji berkali-kali sudah disandangnya, tapi tetap tak bisa mengerem perkataannya yang berbisa seperti ular.
Ghina tak membalas, meski air matanya mengalir deras di pipinya. Dia sibukkan dirinya membersihkan rumah, mengepel lantai hingga seluruh ruangan harum dan rapi. Piring kotor yang menumpuk di dapur juga sudah kinclong. Tak ketinggalan makanan kesukaan Abiyan sayur asem lengkap dengan pindang balado sudah tersedia di meja makan.
Sementara itu Fatiyah, Azza dan Mutiara sudah duduk manis di ruang tamu. Mereka bertiga setelah selesai mandi sudah siap membaca buku. Koleksi bacaan Muhammad Teladan Sepanjang Zaman, Buku Pintar Iman dan Islam dan Seri Sains Qur'an Menakjubkan menjadi tambahan literasi buat mereka.
Meski sebagai ibu rumah tangga, Ghina tak membiarkan ketiga putrinya hanya bermain saja. Harus ada waktu untuk menambah pengetahuan dan mengasah hobi mereka. Termasuk menggunakan gadget sebagai pelengkap saat anak-anak belajar Sirah dengan komik Seri Tauladan Rasulullah.
Yang paling ekspresif adalah Mutiara. Dia paling senang melakukan scanning di buku. Lalu bercerita tentang apa yang dilihatnya dengan gaya lucu dan menggemaskan.
"Kalian jangan buat kotor ya, nanti Uti marah," bisik Ghina dengan senyum paling manis lalu bergegas mandi.
Tak ada yang dilakukan Ghina selain menghibur diri sendiri setelah mandi. Menonton Drakor dan membayangkan sosok suami romantis yang diidamkannya itu sudah bahagia bukan main. Kadang menonton video lucu di media sosial yang bisa bikin moodnya kembali bagus. Dicarinya sumber bahagia yang diinginkan dari hal-hal sederhana dan tak perlu mengeluarkan uang.
Ghina sudah terbiasa kesepian, meski ada Abiyan di rumah. Hal yang menyakitkan bagi seorang istri dalam rumah tangga bukan perceraian tapi merasa sendiri, sering diabaikan dan didiamkan dalam sunyi. Tidak ada jalan lain bagi Ghina selain menemukan kebahagiaannya sendiri. Â Berharap pada Abiyan? Makin bertambah sakit hati.
"Abi pulang, Bun," teriak Mutiara kegirangan. Ditariknya tangan Ghina untuk ikut menyambut suaminya.
"Ajari istrimu jadi perempuan bener. Nggak cuma rebahan seharian di kamar dan main hape. Kalau bukan Ibu, mana bisa rumah sebersih ini?"
"Iya, Bu. Nanti saya diberitahu Ghina. Terima kasih sudah membantu membersihkan rumah dan merawat anak-anak. Tanpa ibu semuanya masih berantakan. Emang Ghina nggak becus ngurus rumah tangga."
Mendengar penuturan Abiyan, Ghina bergegas masuk kamar. Dia biarkan mertuanya mengarang narasi semau hatinya. Toh yang diinginkan suaminya seperti itu. Diam dan mengalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H