Tatapan tajam Darwati kepada menantunya menunjukkan sorot ketidaksukaan.
"Iya iya. Kamu lihat ini! Rumah berantakan. Nggak ada bersih-bersihnya. Apa nggak bisa ngajari anak-anakmu kebersihan?"
Ghina hanya menghela napas panjang, tak membela dirinya karena tak mau menambah runyam konflik dengan mertuanya. Setiap hari dia mendapat protes keras dan selalu ada pemicu pertengkaran. Tak ada yang benar di mata Darwati, Ghina hanyalah menantu yang buruk dan tidak berguna.
Sembari mendengar Omelan Darwati, tangan Ghina sigap membersihkan mainan yang berserakan di lantai. Lalu mengajak ketiga anaknya untuk membantu membereskan.
Tak ada yang salah dengan anak-anak Ghina. Memang seusia mereka senang bermain. Sudah sewajarnya rumah berantakan lalu kembali rapi setelah selesai. Ghina tak pernah mencubit putrinya semarah apapun Darwati padanya. Dia anggap ocehan mertuanya hanya angin lalu.
"Rumah banyak semut, kotoran di mana-mana. Haduh ... Mana bisa sembuh migranku kalau gini. Mulai besok kurung anakmu di kamar. Aku nggak mau lihat rumah kotor."
Untuk yang satu ini Ghina terpaksa buka suara.
"Tapi, Bu. Anak-anak butuh tempat bermain yang lapang. Di kamar penuh barang dan sempit. Ghina izin memakai halaman depan untuk bermain anak-anak. Ibu nggak usah khawatir setelah selesai bermain nggak akan ada kotoran satupun yang tertinggal. Semua bersih seperti semula."
"Pokoknya aku nggak mau. Sudah cukup para tetangga mencibir. Malu sama mereka kalau main ke sini. Apalagi teman-teman pengajian banyak yang bilang rumahku seperti kapal pecah. Perkara kamar sempit itu urusanmu. Jangan libatkan aku."
Darwati langsung pergi dan masuk ke kamarnya. Tak mau tahu perasaan menantunya. Sementara Ghina masih harus melanjutkan pekerjaan lainnya sebelum Abiyan, suaminya datang.
Dikesampingkan jauh-jauh sakit hatinya. Dia tak mau membebani suaminya dengan keluh kesahnya tentang mertua yang ujung-ujungnya memicu pertengkaran hebat. Ghina lagi yang disalahkan Abiyan, karena kurang sabar.