"Aylin, berikan kertas itu!"
Kedatangannya yang tiba-tiba ke kamar, membuatku panik. Dengan kasar coretan gambar siluet sketsaku diambil. Aku berusaha merampasnya, tetapi tangan Aylin lebih gesit dariku. Aku kalah.
"Jadi kau punya mimpi ke Inssbruck? Memang bisa?" tawanya menyeringai, luka yang tadi digoreskan belum mengering, malah ditambah dengan luka baru. Aku masih belum melupakan bagaimana dia membuatku menunggu di parkiran hampir satu jam, seperti orang tidak berguna.
Kini gambarku sudah berada di tangan mbak Sema dan mbak Fatma. Mereka bertiga tertawa riuh. Puas melihatku terpuruk.
"Gapai mimpi yang di dalam negeri dulu, biar jatuhnya nggak sakit," ucap mbak Sema ketus.
"Menguasai bahasa Jerman itu butuh kecerdasan tingkat tinggi, kenapa nggak pilih Malaysia yang masih serumpun dengan kita? Yang penting, kan. Lanjut S2. Kalau ada yang mudah, ngapain pilih yang rumit," celoteh mbak Fatma nggak kalah pedasnya di telingaku.
Aku hanya diam, mendengar semua ocehannya. Mau membantah mereka, tidak mungkin. Apa yang bisa kubanggakan dari diriku. Coretan-coretan sketsa koleksiku? Yang ada aku malah ditertawakan, dihina lagi. Menambah lukaku semakin mengangga.
"Halah, kamu itu ingin menyaingi, Aylin, kan? Maunya ke Inssbruck, biar dibilang keren."
"Masya Allah, Mbak Fatma! Apa salah, jika aku punya mimpi ke sana?"
"Lo, siapa bilang kamu salah, silahkan pergi! Kalau kamu bisa." Lengkingan tawanya menusuk-nusuk hatiku. Kucoba menahan agar air mataku tidak meleleh di hadapannya. "Nih gambarmu, buat yang banyak, lalu tempel di jidatmu. Biar semangat meraih mimpi."
"Dasar egois, diberitahu malah ngeyel. Mulai yang dekat dulu. Ini belum apa-apa sudah langsung ke Inssbruck. Your English aja ngaco, malah nekad cari kuliah yang bahasa Jerman." Aylin menoyor kepalaku dengan keras.
"Aduh sakit, Aylin."
"Biar kamu rasakan, mending sakit di sini daripada tersesat ke Inssbruck. Dipikirnya gampang adaptasi di luar negeri. Model seperti kamu ini, nggak bakalan bisa bertahan, palingan cuma bertahan dua bulan. Lalu nangis-nangis minta pulang. Bikin repot keluarga saja." Jari telunjukknya terus menudingku. Seolah aku tawanan yang melakukan kesalahan besar.
Aku tinggalkan perdebatan yang tidak berujung. Memilih diam dan mengalah. Pikiranku semakin kalut, suara-suara hinaan terus memenuhi telingaku. Berkali-kali kuhela napas panjang, menghentikan tangis lalu menguatkan hatiku yang sedang rapuh. Setegar-tegarnya diriku tetap saja aku manusia biasa.
"Apa benar mimpiku terlalu tinggi? Melihat jejak rekam akademisku yang rendah, perkataan mereka ada benarnya juga. Duh, mengapa aku jadi ragu?" Hanya ingin mendapatkan perhatian ibu, kulangitkan impianku setinggi mungkin.
Kutumpahkan semua perasaan yang bergejolak di hati melalui gambar. Hanya dengan cara itu, aku terhindar dari depresi. Emosiku harus tersalurkan, agar tidak jadi penyakit dalam tubuh. Meskipun hanya sekadar coretan seperti benang kusut atau gambaran perempuan dengan wajah mengenggam luka.
Banyak cara lain untuk mengekspresikan kekecewaan, bermain musik, menulis, berteriak di atas gedung yang tinggi, jalan-jalan, menyantap makanan pedas. Sayangnya aku hanya merasa nyaman dengan coretan sketsa.
Lidah memang tak bertulang, begitu mudahnya menggoreskan luka tanpa merasa bersalah. Menganggap itu hal biasa, hanya sekadar candaan. Lihat saja, berapa banyak orang yang terluka akibat lidah. Berujung dendam hingga tega menghabisi nyawa orang yang menyakiti.
Karena lidah pula, permusuhan, pertikaian terjadi. Menyebar fitnah dan mengadu domba di antara satu sama lain. Mengucap sumpah serapah, berbohong, menghina fisik dan menghujat seenaknya tanpa ada batasan. Apa susahnya mengontrol hati. Ah, bodohnys diriku. Kalau semua manusia berpikiran benar. Buat apa surga dan neraka ada?
Menghadapi orang semau gue seperti mereka, harusnya tak diambil hati. Seenaknya memberi luka, lalu menganggap semua baik-baik saja. Aku yang menangis seharian, dia yang tertawa tanpa beban.
Benarlah, jika keselamatan manusia tergantung pada kemampuan menjaga lisan. Pintar saja nggak cukup, kalau nggak punya attitude.
Malam itu, kupaksakan diriku untuk bangun. Belajar dengan keras bahasa Jerman dari youtube. Cukup berat sih, tetapi yang namanya berjuang bukannya harus melalui proses bukan banyak protes.
Kugunakan headset agar tidak menganggu Aylin yang sedang tertidur pulas. Meskipun cara belajarku sangat lambat, yang penting aku tetap berusaha, menambah kosakata baru setiap harinya. Mengikuti kursus, biayanya sangat mahal. Mau tidak mau harus bertahan dengan cara manual.
Pekerjaanku yang sebagai quality control di perusahaan kimia, hanya cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hariku.
Aku lelah menjalani hidup ini. Lelah diperlakukan tidak adil. Melihat karir cemerlang mbak Sema di perusahaan BUMN. Mbak Fatma yang bekerja di perusahaan skala internasional dan Aylin yang dipercaya dosennya mengerjakan proyek-proyek besar, meskipun sudah lulus kuliah, membuatku iri. Kapan ya, bisa mendapatkan pekerjaan bagus seperti mereka?
Sudah berusaha melamar pekerjaan, menyebar puluhan curriculum vitae ke berbagai perusahaan hingga mengikuti job karir yang diselenggarakan baik online maupun offline tetapi belum ada satupun pekarjaan yang sesuai harapanku.
Yang paling banyak lowongan menjadi sales atau marketing kartu kredit, penjualan mobil dan motor hingga properti. Kemampuan komunikasiku tidak terlalu bagus, menjelaskan produk kepada calon pembeli saja, sudah keringat dingin. Tangan gemetar, informasi yang seharusnya melekat di kepalaku tiba-tiba hilang. Bukannya sukses menjual produk, aku malah dimarah-marahi pelanggan karena sudah membuang waktu berharganya.
Pernah juga tergiur dengan iklan lowongan pekerjaan online yang menjanjikan gaji besar dengan fasilitas kesehatan dan akomodasi. Ternyata hanya menjadi sales alat kesehatan akupuntur keliling, dengan produk sandal kesehatan dan alat pemijat tubuh yang memberikan sensasi hangat di putaran tombolnya. Yang paling apes, saat menawarkan produk, ternyata di rumah teman kuliah. Duh, malunya bukan main.
Diary catatan perjalanan hidupku masih tersimpan di rak buku. Saksi bisu perjalanan mimpiku. Kalau kubaca satu per satu, deretan kegagalan demi kegagalan yang banyak mewarnai kisahku.
"Apa aku harus mengubah mimpiku?"
"Hey, berisik. Sudah malam, jangan mengeluh di sini!" Lemparan bantal Aylin, sukses mengenai mukaku.
Tuhan aku lelah dengan semuanya. Berpura-pura baik di depan mereka. Tetap tersenyum seolah aku ini perempuan tangguh. Padahal hatiku menjerit. Air mata yang selalu tumpah ruah di malam hari. Merasa kesepian menjalani hidup. Tak ada penguat menghadapi badai sehebat ini. Di saat orang terdekatku memelukku Justru merekalah yang mematahkan mimpi-mimpiku.
Lihat saja bagaimana seisi dinding kamar ini, penuh dengan coretan mimpi Aylin. Sedangkan aku, hanya di sisakan sedikit. Cukup untuk menempelkan selembar kertas kecil mimpiku. Yang jika ingin melihatnya, harus mendekat terlebih dahulu. Dulu aku sangat berharap ingin berada di fase dewasa, ternyata setelah mengalami. Tak sesederhana yang kubayangkan.
Malam itu, aku tertidur dengan menahan luka yang entah kapan akan sembuh. Sementara Aylin menikmati tidurnya dengan nyenyak. Bahkan mimpi buruk pun enggan mendekatinya.
***
Pagi itu rumah gempar dengan teriakan Aylin.
"Kau sembunyikan di mana, paperku?" Aylin mendelik menatapku.
"Paper apa? Aku nggak tahu. Coba cari lagi, barangkali terselip."
"Sudah ngaku saja. Kamu mau balas dendam, kan. Kemarin sudah menunggu lama di parkiran kampus?"
"Wallahi, Aylin. Buat apa aku membalas perbuatanmu."
"Akui saja, biar kelar masalah ini."
Selalu aku yang disalahkan. Jika kesabaran, tidak bisa menyadarkannya. Mungkin kehilangan jadi jawaban atas semuanya. Aku keluar kamar, mendinginkan pikiran yang mulai memanas. Mengambil kunci motor dan gegas berangkat kerja.
Di depan rumah aku dikagetkan dengan sosok lelaki dengan ketampanan maksimal. Berwajah oriental dengan tinggi kisaran 170 senti, kulitnya bersih dan penampilannya rapi. Itu lelaki yang kemarin kutemui di parkiran kampus. Aku ingat betul, namanya Aidan, pemilik mobil sporty berwarna hitam.
"Mengapa dia tahu rumahku? Jangan-jangan dia jodoh yang dikirim Tuhan untuk menyembuhkan lukaku.
"Mbak yang kurir kemarin, kan?" tegurnya.
"I-iya, Mas."
"Mau antar barangnya Aylin, lagi?" Aku hanya mengangguk, kemudian pergi dengan perasaan kecewa. Ternyata aku salah, lelaki itu datang untuk menjemput kembaranku. Mengapa kehidupan Aylin selalu beruntung dibandingkan aku.
Di ujung gapura, Arif berteriak memanggil namaku.
"Tunggu, Aurora." Dengan muka cemong, dia menghentikan laju motorku. Sepeda bututnya diparkir di sebelahku. Disekanya dahi yang berpeluh keringat, sebelum berbicara denganku. "Ini hadiah untukmu." Senyumnya mengembang saat menatapku.
"Terima kasih, Rif. Lain kali nggak usah repot-repot gini." Kubalas senyumnya untuk menghormatinya.
Arif adalah seorang montir di bengkel dekat rumah. Pekerja kasar, sangat jauh berbeda dengan Aidan. Andai saja, aku memiliki seseorang yang seperti Aidan.Â
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H