"Aduh sakit, Aylin."
"Biar kamu rasakan, mending sakit di sini daripada tersesat ke Inssbruck. Dipikirnya gampang adaptasi di luar negeri. Model seperti kamu ini, nggak bakalan bisa bertahan, palingan cuma bertahan dua bulan. Lalu nangis-nangis minta pulang. Bikin repot keluarga saja." Jari telunjukknya terus menudingku. Seolah aku tawanan yang melakukan kesalahan besar.
Aku tinggalkan perdebatan yang tidak berujung. Memilih diam dan mengalah. Pikiranku semakin kalut, suara-suara hinaan terus memenuhi telingaku. Berkali-kali kuhela napas panjang, menghentikan tangis lalu menguatkan hatiku yang sedang rapuh. Setegar-tegarnya diriku tetap saja aku manusia biasa.
"Apa benar mimpiku terlalu tinggi? Melihat jejak rekam akademisku yang rendah, perkataan mereka ada benarnya juga. Duh, mengapa aku jadi ragu?" Hanya ingin mendapatkan perhatian ibu, kulangitkan impianku setinggi mungkin.
Kutumpahkan semua perasaan yang bergejolak di hati melalui gambar. Hanya dengan cara itu, aku terhindar dari depresi. Emosiku harus tersalurkan, agar tidak jadi penyakit dalam tubuh. Meskipun hanya sekadar coretan seperti benang kusut atau gambaran perempuan dengan wajah mengenggam luka.
Banyak cara lain untuk mengekspresikan kekecewaan, bermain musik, menulis, berteriak di atas gedung yang tinggi, jalan-jalan, menyantap makanan pedas. Sayangnya aku hanya merasa nyaman dengan coretan sketsa.
Lidah memang tak bertulang, begitu mudahnya menggoreskan luka tanpa merasa bersalah. Menganggap itu hal biasa, hanya sekadar candaan. Lihat saja, berapa banyak orang yang terluka akibat lidah. Berujung dendam hingga tega menghabisi nyawa orang yang menyakiti.
Karena lidah pula, permusuhan, pertikaian terjadi. Menyebar fitnah dan mengadu domba di antara satu sama lain. Mengucap sumpah serapah, berbohong, menghina fisik dan menghujat seenaknya tanpa ada batasan. Apa susahnya mengontrol hati. Ah, bodohnys diriku. Kalau semua manusia berpikiran benar. Buat apa surga dan neraka ada?
Menghadapi orang semau gue seperti mereka, harusnya tak diambil hati. Seenaknya memberi luka, lalu menganggap semua baik-baik saja. Aku yang menangis seharian, dia yang tertawa tanpa beban.
Benarlah, jika keselamatan manusia tergantung pada kemampuan menjaga lisan. Pintar saja nggak cukup, kalau nggak punya attitude.
Malam itu, kupaksakan diriku untuk bangun. Belajar dengan keras bahasa Jerman dari youtube. Cukup berat sih, tetapi yang namanya berjuang bukannya harus melalui proses bukan banyak protes.