"Mas Aidan, tahu mbak Aylin nggak? Ini ada yang cari." Lelaki yang bernama Aidan itu menoleh, melepas kacamata hitamnya dan berjalan ke arahku. Wajah kacaknya terlihat jelas, senyumnya yang menawan membuatku melting.
"Kamu siapa?" tanya Aidan penasaran. Matanya terus menatapku dari atas ke bawah, mungkin dikiranya aku makhluk aneh. Penampilanku yang amburadul membuatnya illfill.
"Anu, Mas. Kurirnya mbak Aylin, mau ngantar baju yang ketinggalan di rumah." Kutunjukkan tas berisi pakaian yang kubawa, agar tak dikiranya aku hanya membual.
"Kamu terlambat, Aylin sudah pulang dari tadi. Seharusnya langsung masuk menemuinya, bukan menunggu di parkiran."
Untuk kesekian kalinya dia mempermainkanku, dengan seenaknya  pergi tanpa memberitahu. Menghadapinya tak hanya butuh stok sabar yang banyak, perlu juga hati yang ikhlas.
Kuambil motorku dan pulang dengan perasaan kecewa yang teramat dalam.
***
"Ibu, aku pulang."
Kubawakan martabak manis kesukaannya, masih hangat. Pasti ibu menyukainya. Di kamar, Ibu sedang berbincang bersama Aylin. Kuredam emosiku. Setelah apa yang telah diperbuatnya, tak ingin bertengkar di hadapannya.
"Ini untuk, Ibu." Kuulurkan tanganku tetapi ibu malah asyik ngobrol. Pemberianku tidak dilirik, kalah dengan bawaan Aylin yang memenuhi mejanya. Ada buah, makanan cepat saji, minuman sehat dan masih banyak lagi printilan oleh-olehnya.
"Ibu, aku bawa martabak manis."
Kali ini kuletakkan di atas pangkuannya. Berusaha tersenyum di hadapannya. Ternyata bukan seulas senyum yang kudapatkan, ibu malah berdiri. Martabak manis pemberianku jatuh di lantai.