Jadi kalau badan saya pendek mungkin akibat kekurangan gizi karena mahalnya harga bahan pokok, tapi tidak diimbangi dengan besarnya penghasilan.
Bicara soal gizi, Sabtu dan Minggu (29-30/9/2018) dan Sabtu (6/10/2018) saya mengikuti Danone Blogger Academy di Kantor Pusat Danone, Gedung Cyber 2, Jalan Rasuna Said, Jakarta. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Danone bekerjasama dengan Kompasiana tersebut, bertujuan memberikan pengayaan kepada 20 blogger terpilih seputar bidang nutrisi dan kesehatan demi terciptanya konten kesehatan ala warga yang berkualitas. Kami mendapatkan materi dari sejumlah akademisi, praktisi, dan profesional. Salah satu di antara mereka adalah Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Ir. Doddy Izwardi, MA.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak lebih pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal kehidupan setelah lahir, tetapi baru tertampak setelah anak berusia dua tahun. Stunting berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktifitas, menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan serta kesenjangan.
Meskipun begitu, fisik yang pendek bukan berarti stunting. Ada banyak orang dengan tubuh pendek memiliki IQ yang tinggi seperti Habibie, Einstein dan Jusuf Kalla. "Jadi bukan karena pendek badannya tapi otaknya," ujar Doddy.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan stunting, yaitu praktik pengasuhan yang tidak baik, terbatasnya layanan kesehatan, kurangnya akses ke makanan bergizi, minimnya akses air bersih dan sanitasi.
Oktober tahun lalu, saya pernah mengunjungi Desa Lebak, Banten. Kebetulan saya tergabung di Komunitas TurunTangan, yang pada saat itu sedang mengadakan program Gerakan Banten Mengajar (GBM) di Kabupaten Lebak dan Pandeglang. Masih jelas diingatan ini, masyarakat desa Lebak hidup dalam kesederhanaan dan berdampingan. Tanah yang subur, pohon yang lebat dan sawah membentang di mana-mana, menyelipkan rasa iri di hati, "alangkah beruntungnya mereka." Rasa itu kemudian sirna saat saya mengetahui angka pernikahan usia dini, putusnya sekolah, dan kemiskinan di desa  tersebut cukup tinggi. Masyarakat juga memiliki kebiasan mandi dan cuci di sungai serta Buang Air Besar (BAB) di sembarang tempat. Akibatnya, anak-anak rentan terserang penyakit seperti diare dan flu. Penyebabnya tak lain lagi kalau bukan rendahnya edukasi masyarakat tentang kesehatan, nutrisi dan pernikahan usia dini.
Doddy berpendapat selama ini orang Indonesia asal menikah saja. Hanya ijab kabul, bersenang-senang dalam pesta, melakukan hubungan suami istri, tapi tidak memikirkan bagaimana membesarkan anak, "pokoknya go ahead, tahunya nanti aja belakangan!"
Seharusnya sebelum menikah, baik laki-laki maupun perempuan memeriksakan dirinya ke dokter. Apakah mereka kekurangan gizi atau tidak? Menderita anemia atau tidak? Khususnya perempuan yang akan mengandung bayi, karena pembentukan semua cikal bakal organ tubuh terjadi pada delapan minggu pertama sejak pembuahan terjadi. Setelah itu perkembangan penting sebagian organ berlanjut sampai dua tahun pertama kehidupan.
Dokter spesialis anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr. Klara Yuliarti, SpA (K), mengamini pernyataan Doddy. Pada anak balita stunting maupun gizi kurang, asupan protein hewani terutama susu dan olahannya lebih rendah dibandingkan anak balita dengan status gizi baik.