Akan selalu ada imbas dari kenaikan harga BBM, salah satunya adalah meroketnya harga bahan-bahan pokok.
Pagi kemarin pukul 10.30 WIB, saya baru selesai sarapan ketika Fadli Zon berkicau di media sosial. Lewat akun twitternya @fadlizon, wakil ketua DPR itu mengkritik kebijakan pemerintah soal kenaikan BBM.
"NAIK NAIK BBM NAIK TINGGI TINGGI SEKALI NAIK NAIK LISTRIKPUN NAIK TINGGI TINGGI SEKALI NAIK NAIK PAJAK PUN NAIK TINGGI TINGGI SEKALI KIRI KANAN KULIHAT SAJA BANYAK RAKYAT SENGSARA 2x #2019GantiPresiden #2019PrabowoSandiMenang"
Benar saja, 30 menit kemudian PT Pertamina mengumumkan harga BBM dalam negeri mengalami kenaikan harga. Untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, harga Pertamax naik Rp9000 menjadi Rp10.400 per liter, Pertamax Turbo Rp12.250 per liter, Pertamina Dex Rp11.850 per liter, Dexlite Rp10.500 per liter dan Biosolar Non PSO Rp9.800 per liter.
Menteri ESDM Ignasius Jonan menyatakan kenaikan harga BBM non-subsidi merupakan dampak dari harga minyak mentah dunia yang terus meningkat. "Harga minyak dunia saat ini rata-rata tembus di level 80 dolar AS per barel," katanya.
Kabarnya pemerintah juga akan menaikkan harga BBM premium paling lambat pukul 18.00 WIB, namun nyatanya sampai  tengah malam kenaikan belum terjadi. Pemerintah berdalih, belum siapnya PT Pertamina menjadi faktor utama ditundanya kenaikan BBM Premium.
Rencananya kenaikan harga Premium di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) menjadi Rp7000 dan di luar Jamali menjadi Rp6.900.
Karena berita itu, twitter mendadak ramai dengan tagar #BBMnaiklagi. Warganet mengeluhkan kenaikan BBM yang terjadi secara tiba-tiba dan khawatir akan memicu kenaikan harga makanan dan kebutuhan pokok lainnya.
Saya jadi teringat dengan tragedi Mei 1998. Mahasiswa, buruh, dan masyarakat di berbagai daerah melakukan aksi unjuk rasa penolakan terhadap kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh Presiden Soeharto. Kenaikan BBM dianggap akan mempersulit rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Saat itu saya masih SD. Orang tua saya guru yang memiliki lima anak. Gaji guru saat itu tidak besar seperti sekarang, walaupun sudah PNS. Keluarga kami pun terkena imbasnya dari kenaikan BBM. "Mangane seeneke wae yo. Opo-opo saiki larang. Sing penting wetenge wareg (Makannya seadanya saja ya. Apa-apa sekarang mahal. Yang penting perutnya kenyang)," ujar bapak saat saya kecil dulu.