Mohon tunggu...
Yusma Alan Firmanda
Yusma Alan Firmanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Jember

Jurusan Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

IKN Nusantara Roda Baru Perekonomian Indonesia

5 Maret 2023   17:00 Diperbarui: 5 Maret 2023   17:09 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemindahan Ibukota Indonesia tentu memiliki alasan yang sangat kuat. Itu tidak terlepas dari sudah sangat penuhnya Jakarta dan Jawa. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Penduduk dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri per Juni 2022 Indonesia memiliki 275.361.267 juta jiwa. Dari jumlah tersebut 56.10% diantaranya (151,59 juta jiwa) ada di Pulau Jawa.

Perekonomian Indonesia sangat bersifat Jawa Sentris. Bisa kita lihat dari PDB Perkapita yang lebih dari 50% disumbang penduduk Pulau Jawa. Hal ini akan membuat kesenjangan sosial yang tinggi di pulau-pulau lain. Kecemburuan sosial ekonomi akan terjadi dan bisa menyebabkan konflik. Tentu itu sangat tidak baik bagi integritas bangsa dan negara Indonesia. Pemindahan ibukota negara juga merupakan amanat dari Pancasila yaitu "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia".

Tentu dengan proporsi penduduk yang sebanyak itu membuat beban dari Pulau Jawa semakin besar. Dampaknya adalah banyaknya pengangguran karena kurangnya lapangan kerja, terdapat banyak pemukiman kumuh karena kurangnya lahan pemukiman, terjadi kemacetan, dan hal-hal lain yang berdampak pada lingkungan. 

Di Sisi ekonomi padatnya penduduk juga menjadi masalah besar. World Bank pada 2019 memperkirakan Indonesia mengalami kerugian sebesar RP 65 Triliun per tahun karena kemacetan yang ada di Jakarta. Solusi seperti urbanisasi tidak efektif karena hanya bisa meningkatkan 1,4% PDB perkapita dari 1% jumlah penduduk yang melakukan urbanisasi.

Isu lain yang menjadi urgensi Indonesia adalah berkaitan dengan prediksi tenggelamnya Jakarta dan masalah-masalah lingkungan lain. Kementerian Pekerja Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengatakan bahwa Jawa lebih khusus wilayah Jakarta telah terjadi krisis air bersih. 

Studi lebih lanjut yang dilakukan oleh United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) mengatakan bahwa 70%  air yang ada di Indonesia terkontaminasi tinja. 

Di Jakarta sendiri sudah ditemukan adanya kontaminasi dari bakteri E. Coli (Escherichia coli) yang berasal dari tinja. Menurut Direktur Utama PAM JAYA Bapak Arief Nasrudin, bahwa ini terjadi karena eksploitasi air tanah yang berlebihan. Selain itu beliau juga mengatakan bahwa masyarakat Indonesia biasa meletakkan septic tank berdekatan dengan sumur, sehingga kontaminasi bisa terjadi.

Berdasarkan penelitian, Jakarta terus mengalami penurunan permukaan tanah hingga 10-12 centimeter/tahun. Para Ilmuwan juga memprediksi pada tahun 2050 air laut akan naik kepermukaan 25-50 centimeter di Jakarta. 

Data-data tadi disertai data buruk lain seperti lebih dari 50% air waduk telah tercemar berat dan lebih dari 60% air sungai yang ada di Jakarta mengalami pencemaran yang sangat berat. Hal-hal diatas tentu menjadi argumen yang bisa dipakai untuk mengetahui urgensi ibukota Indonesia dipindah ke IKN Nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun