Semilir angin malam menyelusup memaksa masuk ke ruang kamar. Menggantikan udara di ruang berukuran kecil.Seekor tokek mengagetkan ketermenunganku dengan suaranya yang nyaris menggetarkan seantero rumah. Berharap bukan pertanda buruk yang kuterima. Tergeletak sebuah novel epic karya Hermawan Aksari yang berjudul Dyah Pitaloka yang selesai kubaca sejam yang lalu.
Bagiku sejarah sudah seperti makanan sehari-hari yang tak pernah berhenti untuk dikonsumsi. Bagai makanan pokok yang tanpa lauk apapun aku pasti akan menyantapnya. Seperti itulah kecintaanku terhadap sejarah. Buah mata pelajaran yang selalu Rama ajarkan padaku. Beliau adalah saksi sejarah di masa lampau. Namun 5 tahun silam, badai merenggut nyawanya.
Nyaring bunyi ketukan pintu rumah yang tiba-tiba terdengar. Kulongok jam di depan meja belajarku. Pukul 00.15.
“Bukan waktu yang baik untuk bertamu,”batinku.
Aku tak menghiraukannya karna mungkin itu hanya perasaanku saja. Tapi lambat laun suara ketukan itu semakin nyaring kudengar. Kini terdengar sangat nyaring di ruang kamarku sendiri. Sebuah alunan gendhing jowo menyertainya. Suara merdu Sindhen tak terelakkan dari telingaku. Suara itu semakin memekikkan telingaku. Hingga aku merasa seperti bukan berada di dunia.
Berkelebat bayangan Rama beserta pagelaran wayangnya yang sejak 5 tahun terakhir menjadi tontonan favorit di desaku. Aku tak bisa menghapus bayangan Rama. Beliau mendekatiku dan membelai perlahan rambutku. Aku merasakan belaian halusnya. Rama datang membawa seperangkat peralatan wayangnya dan memberikannya padaku dengan menyisipkan sebuah kertas yang dilinting rapi berpita. Sudah kusam kertas yang di berikannya padaku.
Rama pergi menjauhi diriku. Namun, suara gamelan pengiring pagelaran wayangnya semakin nyaring dan kini terasa sampai ke ulu hati. Perih. Tak dapat kubebaskan diriku disana. Seperti terperangkap di sebuah tempat yang asing dengan alunan gendhing jowo yang sangat nyaring. Berkali-kali kuteriakkan suaraku Namun sia-sia saja sampai aku merasa lemas dan tak berdaya sambil terus kututup telingaku.
Seorang tokoh wayang bernama Arjuno datang menghampiri tempatku duduk. Terperanjat aku. Takut dan hanya teriakan histeris yang kulakukan. Kupejamkan mata berharap wayang itu segera pergi. Namun aku salah menduga. Di ujung bagian tangan wayang itu, Rama terkulai tak berdaya berada di dasar lantai dengan berlumuran darah. Wayang itu bisa bicara namun aku tak dapat memahaminya.
“Rama…..,”teriakku.
Tak ada yang dapat mendengar suaraku. Nyaring suara gendhing jowo itu benar-benar tak tertandingi hingga aku tak kuat lagi harus bagaimana berteriak sekencang-kencangnya melawan suara itu. Aku benar-benar tak menyukai gendhing jowo itu karena dia telah merenggut nyawa Ramaku.
“Rama…..,”
“Ndis, tangi. Ono opo iki kok bengok-bengok. Kowe ngimpi opo?”
Hanya lantunan kalimat istighfar yang dapat kuucapkan.
“Kowe dipethuki Rama maneh?”tanya mbak yu ku dan aku mengangguk.
“Uwis, age wudlu kono disek kareben kowe tenang.”
Aku bangkit dan mengambil air wudlu kemudian kutunaikan sholat malam. Setelah selesai kulihat di meja belajar tergeletak sebuah kertas kusam berpita persis seperti yang ada di mimpiku. Kubuka perlahan kemudian membacanya. Sebuah pesan belum kutunaikan hingga saat ini mengingatkanku akan wasiat Rama. Rama ingin aku menjadi seperti dirinya. Menjadi seorang dhalang dan mengelola perkumpulannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H