Mohon tunggu...
Yusi Kurniati
Yusi Kurniati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penikmat sastra

Penulis novel Ayam Goreng Gadamala & Pria Berkacamata (2021), Pacar Dunia Maya (2016), Kumpulan cerpen Sepenggal Kisah (2016), dan kontributor dalam 45 antologi cerpen dan fiksimini. Alumnus S2 Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memancing

25 September 2020   07:00 Diperbarui: 25 September 2020   07:22 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Batavia Marina, pukul 09.00 WIB.

Kapal pesiar berwarna putih gading itu sudah siap berangkat. Kapal itu disewa oleh Bambang, pria berusia 55 tahun, seorang elit politik yang tajir tiada terkira. Orang bilang uang Bambang tidak lagi berseri saking banyaknya. Bambang baru saja turun dari mobil mewahnya ketika Pras, rekannya dalam dunia politik datang.

"Udah lama, bro? Sorry, macet banget jalanan ke sini," kata Pras sembari mengeluarkan peralatan memancing dari dalam bagasi. Dari mereknya, kita akan tahu bahwa alat pancing milik Pras mahal harganya. Bambang melakukan hal yang sama. Alat pancing yang dibawanya pun tak kalah mahal dari milik Pras. Tampaknya ia tidak mau kalah saing dari rekannya itu.

"Gue juga baru datang ini. Yang lain mana nih?" tanya Bambang.

"Ntar gue telpon dulu," sahut Pras sembari mengeluarkan ponselnya, ponsel keluaran terbaru yang harga sangat fantastis. Pras kemudian menelepon beberapa rekannya yang akan ikut memancing hari ini. Yah, Pras memang diajak oleh Bambang untuk pergi memancing di laut hari ini. Bambang bahkan menyewa kapal pesiar untuk acara memancing mereka. 

"Mereka lagi pada on the way. Bentar lagi nyampe," ujar Pras setelah menelepon.

"Ya udah kita masuk aja duluan ya. Ntar biar mereka pada nyusul," ujar Bambang, Pras setuju. Dua laki-laki paruh baya itu kemudian menuju kapal pesiar nan mewah itu.

"Gila keren banget nih kapal. Ini bukan yang biasa kita pake kan ya?" tanya Pras. Dia terkagum-kagum dengan interior kapal yang begitu mewah itu.

"Iya bukan. Gue sengaja sewa yang ini soalnya ini yang terbaru. Biar lu pada gak bosen kan suasananya jadi beda," ucap Bambang dengan jemawa. Demi sebuah gengsi, golongan manusia seperti Bambang memang tidak ragu untuk menghabiskan uang berpuluh juta rupiah sekali memancing. Bagaimana tidak? Biaya sewa kapal pesiar mewah itu saja harganya sudah selangit, belum lagi biaya pelayanan dan fasilitas di dalamnya.

Tak lama kemudian, rekan-rekan Bambang dan Pras tiba. Kapal pesiar itu pun berangkat.

"Gimana, Bang? Lu jadi nyalon lagi tahun depan?" tanya salah satu rekan Bambang.

"Jadi dong, masa jabatan gue kan abis tuh tahun depan dan gue harus tetap dapat kursi di Senayan ntar. Menurut lu gimana peluang gue nyalon kali ini?" tanya Bambang sembari menghisap rokoknya.

"Gede lah peluang lu. Lu udah ahli dalam hal ini. Gue gak ragu lagi deh. Ya gak? Ya gak?" Rekan Bambang berkata penuh semangat yang diiyakan oleh rekannya yang lain. Rekan-rekannya yang lain pun menimpali dengan penuh semangat.

Beberapa orang pelayan datang membawa aneka minuman dan makanan untuk menjamu Bambang dan rekan-rekannya. Mereka bercengkrama sembari menikmati hidangan. Pancing yang mereka bawa dibiarkan terbungkus rapi dalam tempatnya. Demikianlah definisi memancing di kalangan mereka.

....

Pemancingan Gala Tama Bayu Tirta, pukul 09.00 WIB.

Samsul sudah tiba di area parkir pemancingan. Pagi ini dia dan Mahmud, sahabatnya, akan memancing seperti biasanya. Kedua sahabat yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil itu memang terbilang cukup sering memancing di area pemancingan ini untuk menghilangkan stres dan rasa jenuh. Samsul memarkir motornya dengan rapi sembari menunggu sahabatnya tiba. Saat ia sedang memainkan ponsel, Mahmud pun tiba dengan motor dinasnya.

"Lama amat?" tanya Samsul ketika Mahmud tiba.

"Tadi mau pergi, istri nyuruh ke Indomaret dulu beli popok. Sorry ya telat," ucap Mahmud tidak enak hati karena terlambat beberapa menit.

"Ya elah popok anak ya? Aku tadi juga rada susah ninggalin Bagas. Pengen ngekorin mulu. Kalau bapaknya gak lagi stres sih bisalah diajak," ucap Samsul.

"Sama. Raisa juga tadi rewel aku mau pergi. Kalau udah weekend tuh anak maunya nempelin aku mulu," tambah Mahmud.

"Yuk masuk dulu, bentar lagi rame nih. Kita ntar gak dapat tempat yang nyaman lagi," ajak Samsul. Mahmud setuju. Dua sahabat itu masuk ke area pemancingan, membayar uang masuk, dan sewa alat pancing kemudian mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol.

"Napa sih mukanya kusut banget?" tanya Mahmud pada Samsul. Wajah Samsul memang tidak seceria biasanya. Ia juga kerap kali menghela napas panjang hari ini.

"Ada masalah nih di kantor, pusing kepala aku. Bukan kesalahan aku, tapi dilimpahin ke aku. Bingung gimana caranya biar gak disalahkan." Samsul mulai berkisah. Kedua sahabat itu kemudian saling berbagi keluh kesah sembari memancing. Setelah menghabiskan waktu selama tiga jam, Samsul tampak lega karena telah menumpahkan keluh kesah kepada sahabatnya. Mereka bersiap pulang. Ikan yang didapat oleh keduanya pun kembali dilepas ke kolam, bersamaan dengan lepasnya perasaan stres yang membebani Samsul.

...

Kolam belakang rumah pejabat yang disita KPK. Pukul 17.00 WIB.

Tarjudin memasangkan umpan ke mata kail. Cacing-cacing segar itu mengeliat hendak melepaskan diri. Sore ini seperti biasanya Tarjudin pergi memancing bersama Yono. Mereka kerap memancing di kolam belakang rumah mantan pejabat yang saat ini sedang dipenjara. Bukan karena hobi, tapi demi anak istri di rumah yang memerlukan lauk. Yah, sebagai kuli panggul pasar pagi, ikan menjadi barang mewah yang kadang tak terbeli. Sebab penghasilan keduanya hanya cukup untuk membeli beras. Itu sebabnya di sore hari mereka memancing.

"Sayang banget ya rumah segede itu kok gak dirawat gini," ujar Yono.

"Kan gak ada penghuninya, Yon. Lah siapa yang mau rawat coba?" Tarjudin melempar mata kailnya ke dalam kolam.

"Tapi beruntung juga lho kita. Karena rumah ini disita kita bisa cari makan di sini," ucap Yono.

"Iya ya, No. Masih bersyukur ya kita miskin, No. Ternyata yang kaya dan banyak duitnya pun tidak jadi jaminan bahwa hidup kita akan bahagia," ujar Tarjudin.

"Benar, Din. Lah buat apa punya duit banyak kalau akhirnya malah di penjara. Gak ada artinya duit itu. Mending kayak kita ya, dapat uang sehari buat makan sehari. Eh, pancingmu dapat lagi tuh, Din," ujar Yono. Tarjudin segera mengangkat pancingnya. Seekor ikan gabus seukuran lengan orang dewasa menggelepar di sana. Tarjudin segera menangkap ikan tersebut dan memasukkannya ke dalam plastik.

"Ayo, pulang, Yon. Kamu udah dapat berapa?" tanya Tarjudin.

"Udah tiga ekor nih gede-gede. Yuk, pulang. Besok lagi mancingnya," kata Yono. Kedua sahabat itu kemudian meninggalkan kolam dengan membawa hasil pancingan mereka. Meski di dalam kolam bekas danau buatan itu banyak ikannya, mereka hanya memancing seperlunya. Asalkan cukup untuk makan malam nanti.

Tarjudin dan Yono membuka pagar seng dengan hati-hati. Tulisan "Area ini disita KPK" yang tergantung di pagar sempat jatuh ketika mereka keluar. Tarjudin memasang kembali tulisan itu dengan rapi sebelum pergi.

...

Tempat Pemakaman Umum.

Tiga makam itu berjejer rapi. Tiga nama terpampang di batu nisan: yang paling kiri bertulis nama Bambang, di tengah nama Samsul, dan paling ujung Tarjudin. Ketiganya kini berada di tempat yang sama: tanah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun