Baginya, kalau orang berusaha pasti akan mendapatkan laba. Padahal jika dia mau membuka hati dan melepaskan belenggu duniawinya banyak sekali hikmah yang dapat dipetik dari kegagalannya. Dengan demikian ia akan dapat merasakan hikmah yang nilainya lebih berharga daripada segala keberhasilan bisnisnya.
Kedua, orang yang selalu risau dengan rezeki Allah
Ia selalu khawatir apakah besok ia dapat hidup. Bagaimana besok saya makan? Orang yang risau dengan rezeki Allah sama dengan tidak percaya dengan kemahakuasaan Allah SWT. Ia lupa bahwa Allah yang memberikan rezeki. Dengan kerisauan hatinya akan rezeki Allah maka dirinya akan sulit mendapatkan hikmah.Â
Orang seperti ini harus mengubah paradigma yang selama ini ada di benaknya. Ia harus mengubah keyakinannya dari apa-apa yang dia usahakan sendiri menjadi Allah sebagai penentu. Ia harus yakin bahwa Allah akan memberikan rezeki kepada semua makhluk termasuk kepada dirinya. Bahkan binatang melatapun sudah Allah atur rezekinya. Dengan paradigma keyakanan yang baru inilah pintu hatinya akan membukakan hikmah yang sangat berharga bagi dirinya.
Allah menjamin rezeki makhluknya, terutama rezeki manusia. Hanya saja, Allah juga mewajibkan manusia untuk bekerja dan berupaya untuk 'memburunya'. Rasulullah SAW membuat analogi orang yang mencari rezeki dengan seekor burung yang mencari makanan. Beliau bersabda:
"Andai kalian bertawakkal kepada Allah secara benar, tentu Dia akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Burung pergi di waktu pagi dalam kondisi perut kosong dan kembali dengan perut yang kenyang" (HR. Tirmidzi)
Orang yang meyakini bahwa Allah adalah pengatur dan pemberi rezeki menunjukkan bahwa orang tersebut mempunyai iman yang kokoh kepada-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-A'raf(7: 96), yang artinya: "Andai penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, tentu Kami bukakan untuk mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi."
Suatu ketika Nabi Sulaiman AS ingin mengetahui bagaimana Allah memberikan rezeki kepada seluruh makhluk-Nya di dunia ini. Untuk itu, ia bertanya kepada seekor semur, berapa banyak rezeki yang Allah berikan kepadanya dalam setahun. Semut itu menjawab bahwa ia memperoleh rezeki sebesar kepalan tangan sang Nabi.
Mengetahui hanya sebesar itu rezeki yang diperoleh semur, Nabi Sulaiman merasa tidak kesulitan untuk memberikannya kepada semut tersebut. Nabi Sulaiman lantas membuat kesepakatan dengan semut tersebut agar mau masuk ke dalam botol yang telah diisi dengan makanan sebesar kepalan tangan beliau. Semut pun setuju.
Setelah semut masuk ke dalam botol, mulut botol itu ditutup. Setahun kemudian, Nabi Sulaiman ingin melihat keadaan semut tersebut. Ketika ia membuka tutup botol, ternyata semut itu hanya memakan sebagian makanan yang telah disiapkan. Nabi Sulaiman heran, kemudian bertanya kepada semut mengapa makanan tidak dihabiskan. Bukankah ia mengatakan bahwa rezekinya dalam satu tahun sebesar kepalan tangan Nabi Sulaiman?
Mendengar pertanyaan itu, semut menjawab, "Wahai, Nabi yang Mulia! Memang benar apa yang aku katakan, bahwa aku memperoleh rezeki sebesar kepalan tangan dalam satu tahun. Namun, itu terjadi ketika aku tidak berada di dalam botol ini. Ketika itu, aku sangat yakin Allah akan memberikan rezeki kepadaku dan Dia tidak akan melupakanku walau sedetik pun. Tetapi kini, aku yang lemah ini terkurung dalam botolmu. Apakah kau bisa menjamin bahwa dirimu tidak akan lupa memberiku makanan setelah satu tahun berlalu? Apakah kau berani menjamin hidup dan rezekiku dengan tanganmu?"