Opini oleh Akhmad Faishal
Beberapa orang mengatakan, bahkan ada tokoh di Indonesia, yang mengatakan bahwa Ijazah adalah bukti bahwa kamu pernah sekolah, bukan bukti bahwa kamu pernah berpikir. Pernyataan itu sepenuhnya tidak benar. Bagaimana mungkin, berangkat dan pulang sekolah, kita tidak pernah berpikir? Lalu, bagaimana kita lulus kalau kita tidak pernah berpikir?
Boleh jadi, itu semacam sindiran saja. Akibat sekolah tak memberikan semacam tempat yang menyenangkan untuk berpikir bebas atau berpikir tentang apapun. Murid-murid belajar sesuatu yang baru secara teks tapi tidak pernah benar-benar baru yang muncul dari dalam kesadaran mereka. Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi serta Ekonomi, Geografi, Sosiologi serta Sejarah seperti harus benar-benar dihafalkan dan dikuasai agar lulus dari sekolah. Mungkin, tidak hanya itu, bagi sekolah swasta ada tambahan pelajaran penting yakni, agama, dengan bermacam sub-subnya.
Seorang teman pernah mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia, terutama kelas satu sampai dengan kelas dua belas tampak seperti per (pegas) spiral, kalau tak bisa dikatakan sebagai zigzag. Semua pelajaran itu mengulang dari kelas satu ke kelas TK, kelas dua ke kelas satu, kelas tiga ke kelas dua lalu ke kelas satu, kelas empat ke kelas tiga lalu ke kelas dua lanjut ke kelas satu. Hingga kelas enam harus mempelajari kembali materi kelas lima hingga kelas satu. Begitu juga dengan jenjang SMP dan SMA. Para murid harus mempelajari semua mata pelajaran yang pernah diajarkan ketika tahap akhir. Padahal, dalam satu buku katakanlah ada tujuh bab untuk satu mata pelajaran di kelas satu jenjang SMP atau SMA. Delapan bab di kelas dua dan lima bab di kelas tiga. Di akhir, anda dapat membayangkan mereka harus belajar sekiranya dua puluh bab untuk menentukan kelulusan mereka. Bagaimana bila ada tujuh mata pelajaran, karena Mafikibi dan Ekososgeo ditambah dengan sejarah, bahasa indonesia dan bahasa inggris.
Sekolah seperti tempat tahanan para siswa. Guru-guru yang bagus tidak tersebar secara merata di tiap-tiap sekolah dan hanya yang terbaik, yang mampu memberikan kenyamanan kepada para murid. Itupun belum tentu mereka benar-benar belajar sesuatu yang baru di luar dari teks (buku). Ada dua hal yang sangat bagus, yang dapat kita ambil dari negara finlandia.Â
Yakni, tanpa adanya PR, pekerjaan rumah dan tanpa adanya jawaban multiple choice (pilihan ganda). Pertanyaan-pertanyaan tentang essay pun, mungkin, tak ada yang semacam sebutkan tiga macam faktor?, melainkan Jika salah faktor muncul, yakni A, apa yang dapat anda jelaskan dan harapkan tidak atau dapat terjadi?Â
Secara yang kedua akan benar-benar muncul ide-ide atau pemikiran-pemikiran yang luar biasa muncul. Mungkin, juga akan memberikan semacam solusi alternatif dari masalah-masalah yang terjadi di sekitar lingkungan. Bahkan, boleh jadi lebih jauh lagi, permasalahan negara, termasuk politik dan hukum yang kacau balau.
Dan kemampuan yang sangat kita butuhkan saat ini ialah ketrampilan untuk memberikan sesuatu secara kreatif. Solusi atas ide-ide dan kemampuan memberikan pandangan terhadap sesuatu yang dianggap salah. Kebijakan-kebijakan yang dikritik dan menanggapinya dengan solusi yang brilian. Mungkin, kita sudah merasa mampu dengan cara berkomunikasi yang hebat dan mengamati permasalahan tanpa sekalipun melewatkan celah. Tapi, tetap saja kita seperti kurang untuk berinisiatif menelurkan solusi-solusi yang cemerlang akibat kebiasaan di masa lalu. Terutama di sekolah.
"Kalau kalian tidak menjawab, maka tidak ada nilai. Jika tak ada nilai, maka tidak akan kelulusan. Mau kalian selamanya tinggal kelas?" perintah guru.
Akhirnya, mereka akan terjebak dan tersandera oleh permasalahan yang bukan urusan mereka, melainkan dipaksakan kepada mereka untuk tunduk terhadap sistem itu. Bukankah, cara atau proses kebijakan untuk rakyat juga harus mempertimbangkan kelompok dan golongan serta partai tertentu?Â
Oleh sebab, kelompok, golongan, organisasi, terutama partai mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan menyetujui serta memberikan opsi pilihan kepada kepala negara untuk menjawab permasalahan rakyat. Jika tidak begitu, maka tidak mungkin ada pejabat yang kaya di satu sisi dan rakyat miskin disisi lain, yang selalu menjadi korban tiap periode lima tahunan.
Ijazah seharusnya diperlukan bagi para murid ketika menelurkan pemikiran-pemikiran konkret ketika sekolah. Selama enam tahun menjalani proses belajar jenjang SD, apa saja yang dia dapat? Begitu pula SMP dan SMA? Mungkin, jawaban mereka akan normatif atau malah tidak mendapatkan apa-apa. Pengetahuan mereka tentang semua mata pelajaran bisa jadi minim, dan boleh jadi kebetulan jika nilai mereka bagus-bagus. Guru lebih mudah untuk menilai murid dengan soal-soal teks, daripada harus menilai satu per satu tiap-tiap individu. Enam tahun belajar, tiga tahun belajar, tidak akan benar-benar maksimal.Â
Apalagi cara belajar tetap sama selama bertahun-tahun, padahal teknologi berkembang pesat selama bertahun-tahun. Jadi, mari kita merubah minimal untuk memberikan kesempatan bagi para murid untuk lebih banyak membaca, menghapus PR dan pilihan ganda, memilih mata pelajaran yang disukai---tempat memberikan mata pelajaran yang dianggap pokok---dan memberikan mereka waktu untuk berpikir menulis solusi konkret terhadap masalah yang terjadi di sekitar mereka.
Disitulah baru kita memberikan ijazah.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H