Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Islam dalam Sinetron dan Film

13 Desember 2017   07:13 Diperbarui: 13 Desember 2017   08:51 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak ada seorang pun yang tidak menyukai cerita, begitulah isi tulisan AS Laksana dalam sebuah surat kabar(10/12). Adapun dongeng yang dulu dikemas dalam bentuk cerita melalui mulut, sekarang telah bertransformasi melalui bentuk gambar bergerak sehingga seolah-olah nyata. 

Otomatis, dongeng kuno yang dulu sering digunakan untuk merekatkan hubungan orang tua dan anak saat tidur mulai hilang atau punah. Pun lagu 'Dongeng Sebelum Tidur' yang dinyanyikan oleh grup band Wayang sudah tak berlaku lagi, kecuali mungkin di daerah-daerah non-metropolitan.

Kita dapat mengubah, memotivasi dan menggambarkan tentang situasi apapun melalui cerita atau katakanlah gambar bergerak. Daripada harus dengan cara-cara keras dan paksaan, tontonan lebih membantu untuk melakukannya tanpa disadari. 

Perubahan-perubahan itu seperti contoh, gaya hidup, cara berpakaian, dan cara berkomunikasi telah banyak yang berubah. Tontonan film g 30 s, misalnya, tidak bermaksud memprovokasi atau mengulas tentang isi film tapi bagaimana film membuat masyarakat menilai sekejam apa pelaku gerakan 30 september atau gerakan satu oktober.

Orang-orang juga menjadi ketakutan, reaksi yang ditimbulkan saat menonton film horor. Bayangan itu akan membekas dikepala, menjadi candu walau takut karena menarik, dapat dibayangkan secara pasti bagaimana bentuk hantu, dan suasana mendukung. Daripada harus diceritakan melalui mulut, dan membaca novel, yang imajinasinya bebas dan cenderung satu sama lain tidaklah sama. 

Bagaimana bentuk frankenstein saat membaca novelnya, film dahulu hingga film sekarang. Bagaimana bentuk, ibu dalam film pengabdi setan dulu dan sekarang. Film telah memberikan imajinasi yang pasti tentang gambaran yang dilukiskan oleh si pembuatnya.

Selain film, sinetron juga memberikan gambaran tentang itu, dalam setiap jalan cerita yang dipertontonkan disisipi percakapan yang notabene bersifat keagamaan. Entah, apa tujuannya, kalaupun untuk membendung film luar negeri yang sarat sekuler, itu berarti tidak heran, banyak sinetron yang menggunakan ucapan-ucapan khas keagamaan. Banyak kutipan ayat yang diucapkan dalam satu sinetron dalam episode-episodenya.

Sinetron yang bersifat keagamaan dalam upayanya membendung perfilm-an luar negeri yang sekuler karena banyak sekali digandrungi. Dari segi jumlah penonton pun terlihat ketimpangannya, sejauh ini film Pengabdi Setan luar biasa banyak namun itu tidak dapat dibandingkan dengan film luar negeri seperti Justice League atau Civil War atau Avenger dan lain sebagainya. Kalaupun film-film luar negeri tersebut ada unsur tujuan men-sekulerkan Indonesia melalui budaya dan seni film, bisa jadi akan sukses. Nyatanya tidaklah demikian.

Nyatanya lagi, sinetron-sinetron Indonesia dibikin dengan ketakutan akan halnya merebak mereka yang imannya tergerus. Oleh sebab itu, untuk menguatkan kembali perasaan percaya diri memiliki agama, mereka membikin cerita dan menggambarkannya dengan cara yang mungkin agak memaksa dan cenderung berlebihan. Dan karena hal itu tidak cukup, pembelajaran agama beralih dari televisi ke layar lebar, sehingga banyak sekali kemunculan film-film yang bernuansa keagamaan.

Apakah film dengan unsur keagamaan menarik? Ya, karena ada bumbu romantis, percintaan, kesedihan dan agama tentunya di dalam film. Seperti di dalam film Assalamualaikum Beijing, Perempuan Berkalung Sorban, 99 Cahaya di langit eropa, ayat-ayat cinta, ketika cinta bertasbih. 

Sangat jarang dibuat atau masuk di Indonesia film yang berhubungan atau bahkan film yang non-islami. Kalaupun masuk, itupun harus yang benar-benar memiliki kualitas dan jalan cerita yang sangat bagus, memukau misteri yang ditutupi seperti film Da Vinci Code dan Angel and Demon adaptasi novel best seller karya Dan Brown.

Suasana ini dibangun agar masyarakat Indonesia yang luar biasa banyak dan luar biasa mudah dirasuki dan dipengaruhi dapat dipertahankan 'bajunya', jangan sampai ditanggalkan. 

Adakalanya akan dicerca dan dicaci maki bahkan dihina, kalaupun ada film dokumenter yang ditayangkan berisi cerita non-islami, baik dari muslim sendiri atau dari non-muslim. Oleh sebab itu sangat jarang film-film non-islami diputar atau bahkan dibuat.

Dengan memperhatikan pangsa pasar, lebih dari delapan puluh persen warga Indonesia islam, maka sudah barang tentu film atau sinetron yang dibuat harus menyesuaikannya. 

Namun, film yang notabene sekuler hanya mengandalkan jalan cerita tanpa ada unsur agama sangat digandrungi sekali. Itulah keanehannya, mengapa demikian? Pertanyaan ini sesungguhnya baik untuk ditelusuri jawaban atas segala hal aktivitas yang berbau keagamaan. Mengapa ada kekerasan, mengapa ada yang mengatakan preman berjubah, dan lain sebagainya.

Dengan film kita mampu mengubah, membentuk dan memotivasi apapun. Mungkin, kita bisa marah dengan sekitar bila menonton film yang tendensius, atau mungkin kita akan berpikir kembali bahwa manusia itu sama, hanya bajunya yang berbeda. Seperti dalam film tanda tanya karya Hanung Bramantyo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun