Selasar tak berujung, mengaruh menuju samudera luas
Samudra itu disebutlah jiwa
Seperti pepatah mengata, tak ada kedalaman suatu rasa yang dimengerti
Bahkan oleh mu si penguasa terpintar di lautan ini
Boleh jadi ia terus berkaca
Mencari keelokan rupa
Meninggikan asa, memuja muja
Namun apakah sesungguhnya guna?
Ketika mata tertuju pada dunia
Keindahan ini mengalir terus membanjiri
Kemudian meluluh lantahkan kebaikan hati
Dibalik selimut kejernihan dan kemurnian
Kelak seorang anak kan datang
Hanya untuk mengerti, kemudian pergi
Tak jarang kedatangan ini tak kunjung disertai kepahaman
Tentang arung dunia, tentang hati
Tak berapa rasa, lautan itu bergemuruh
Tak ada satupun anak yang tak akan runtuh
Pijakan dari masing-masing beradu peluh, keluh
Maka hancurlah
Si anak di tengah lautan
Kemurnian itu masihkah akan ada?
Setelah badai gemuruh
Setelah berhujan peluh
Setelah habis
Cermin itupun runtuh
Kini tersisa lautan tenang
Kosong
Anak barupun akan datang
Layar-layarnya kan terkembang
Badai baru kan menyertai
Siapakah yang kan bertahan?
Hingga lautan dunia kan akhirnya
Padam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H