“Tidak akan ada pemasangan baru sampai denda lunas,” itu pesan dari PLN yang kami dengar. Tetapi anehnya, satu orang tetangga, listriknya kembali menyala. Dengar-dengar, ia sudah membayar enam juta lebih untuk itu.
Kami pun pergi ke PLN seminggu kemudian. Menghadap orang yang mengurus denda. Jawabannya seperti yang sudah kami dengar. Bayar dulu dendanya, baru listrik dipasang.
Kami ceritakan masalahnya, developer kami pengecut. Kami ingin memasang sendiri, biar developer yang mengurus dendanya. Tidak bisa! Ada perjanjian antara developer dan PLN, bahwa pihak developer sudah membuat surat perjanjian bermeterai. Bahwa mereka akan menyediakan trafo untuk kompleks kami. Trafo yang harganya entah berapa ratus juta.
Tetangga saya berkata, “Lalu mengapa ada satu warga yang bisa? Listriknya sudah menyala? Kalau satu bisa, seharusnya semua bisa.”
“Siapa yang memasang?
“PLN.”
“Jangan begitu. Saya ini PLN, saya tidak tidak memasangnya.”
Ia lalu menjelaskan jangan mengatakan PLN. Ia juga orang PLN. PLN itu besar, jadi jangan katakan PLN yang memasangnya. Orang yang memasangnya, bukan PLN. Ia menggambarkan PLN itu seperti sebuah lingkaran yang sangat besar dan orang yang memasang listrik di rumah tetangga kami itu hanyalah sebuah bintik.
Tetapi ia memberi kami solusi. Supaya tidak ribut-ribut, ia menyuruh kami mendaftarkan pemasangan baru. Itu setelah kami jelaskan bahwa kami siap dengan biaya pemasangan sambungan baru.
Keluar dari kantor PLN, orang-orang yang sudah kami kenal, orang yang memasang listrik di rumah tetanga kami mengajak kami berbicara. Salah satunya menyalahkan kami karena melaporkan seolah-olah ia memasang listrik curian. Ia katakan, listrik rumah tetangga kami hidup karena pemiliknya sudah mendapat ijin developer untuk memasang listrik sendiri tanpa melewati mereka.
Setelah mengetahui kami juga mau memasang listrik lepas dari developer, bahkan sudah disuruh mendaftar, ia bertanya apakah kami memang punya uangnya. Kami katakan “Ya.” Kami tidak peduli lagi pada developer.