Nasihat bijaknya adalah jangan pernah berinvestasi kalau tidak memahami dengan benar risiko yang akan dihadapi di kemudian hari karena akibatnya bisa buntung bahkan kehilangan uang.
Pesan ini sangat tepat bagi sejumlah ibu-ibu yang mengaku ditipu oleh seorang tokoh agama yang tertarik dengan investasi yang ditawarkan melalui acara salah satu stasiun televisi dengan janji hasil investasi sebesar 8% per tahun sehingga mereka langsung mentransfer dana ke rekening sang tokoh agama dalam jumlah jutaan rupiah.
Itu terjadi pada tahun 2021 dan hingga saat ini mereka tidak menerima hasil 8% yang dijanjikan. Ada beberapa yang menerima hasil, tetapi hanya sekali saja di tahun pertama.Â
Bahkan lebih menyakitkan lagi, para investor ibu-ibu rumah tangga ini, tidak ada kabar yang transparan tentang nasib uang mereka dalam pola investasi usaha patungan mendirikan sebuah bisnis perhotelan di wilayah Tangerang.
Karena merasa dirugikan dan ditipu ujungnya berurusan dengan hukum. Ibu-ibu ini melakukan somasi kepada sang tokoh agama, menagih janji dan transparansi atas uang mereka, bahkan juga akan mengambil Langkah-langkah hukum bila tidak direspons.Â
Pada 12 September 2021, Liputan6.com merilis berita yang tidak menyenangkan dengan judul "Disomasi Korban Investasi, Ustaz Yusuf Mansur Minta Didoakan".
Memprihatinkan karena keputusan berinvestasi yang diambil hanya karena ketokohan seseorang membawa penderitaan bagi sejumlah investor, yang tergolong kecil bahkan ibu-ibu rumah tangga, yang mempertaruhkan dana simpanan masa depan keluarga mereka yang mungkin jumlahnya tidak seberapa, tetapi hilang tiada berita.
Hanya Melihat Untung Besar
Dari pemberitaan yang ada ibu-ibu ini tertarik dengan investasi yang ditawarkan karena hasil sebesar 8% per tahun dan ditawarkan oleh tokoh yang dikenal luas sebagai pemberita pesan-pesan religi kepada umat yang luas melalui beragam media.
Tergiur dengan untung besar tidak salah bahkan sah-sah saja, pun sangat manusiawi mengingat tidak mudahnya mencari bisnis yang mampu memberikan hasil yang menarik, apalagi untuk jangka waktu panjang.
Padahal hukum dasar investasi itu sangat sederhana saja, yaitu high return -- high risk. Artinya untung besar -- risiko besar, semakin tinggi hasil/keuntungan yang diraih maka risiko yang mengiringinya juga semakin tinggi.Â
Sebaliknya, apabila hasil/keuntungan yang diraih semakin kecil maka risikonya juga semakin kecil. Semisal simpan uang di bank dalam bentuk tabungan, hasilnya kecil yaitu bunga sekitar 2,5% pertahun, tetapi dananya relatif bahkan bisa ditarik setiap saat.
Prinsip dasar investasi ini juga menegaskan bahwa hasil maupun keuntungan investasi yang semakin tinggi diluar batas kewajaran dan dijanjikan sebagai sebuah kepastian merupakan indikasi yang serius bahwa investasi itu perlu dipertanyakan secara seksama dan diteliti kebenarannya secara hukum.Â
Kalau tidak, ujung-ujungnya sebuah kisah tragis dari investasi bodong, alias tipu-tipu yang diawal janji dipenuhi tetapi setelahnya tidak jelas.
Sadar dan Kelola Risiko
Kasus ibu-ibu diawal tulisan ini menjadi contoh yang sangat baik tentang keadaaan masyarakat investor yang buta terhadap risiko dalam berinvestasi. Dipastikan mereka tidak punya pengetahuan minimal, pun pengalaman yang representatif dalam mengelola risiko.
Dan akibatnya, setelah sekitar 10 tahun baru sadar ditipu dan korban dari janji-janji investasi bodong. Dan kalau sudah berurusan dengan hukum, kisahnya akan semakin pilu. Sebab, siapapun yang digugat pasti akan membela diri mati-matian, termasuk melakukan serangan balik.
Untung atau rugi, return dan risk merupakan satu mata uang dengan dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Ada hasil tetapi ada juga rugi. Saat untung maka tidak rugi, atau saat mengalami rugi maka pasti tidak ada untungnya.
Kenali keduanya secara benar dan tepat dengan hitungan yang matang-matang disertai cek dan ricek berkali-kali sebelum membuat keputusan untuk transfer uangnya. Ketika yakin semuanya aman, maka lakukan transaksi itu.
Pesan pentingnya adalah melakukan investasi berarti mengelola risiko dan risiko harus bisa dikenali secara akurat dengan cara mengukur dan menghitungnya dan mengawasinya terus menerus selama 24 jam non-stop. Bila tidak melakukan ini semua, maka siap-siaplah kemungkinan yang terburuk, buntung dan sakit hati karena merasa "tertipu".
Oleh karena aspek mengelola risiko ini menjadi sangat penting dan kritis, juga lebih kritis dari sekadar mengharapkan untung, maka setiap orang investor yang menanamkan dananya dalam salah satu bentuk investasi terbagi tiga macam, yaitu risk seeker, risk averter, dan risk neutrality.
Ada orang yang berani mengambil risiko yang tinggi karena berharap keuntungan yang tinggi pula, tetapi sisi ekstrim lainnya ada yang menghindar risiko yang akibatnya juga kemungkinan keuntungannya kecil, dan ditengah-tengah ada orang tidak terlalu berani tetapi juga tidak penakut sama sekali.
Anda investor, mau pilih tipe yang mana? Haruskan sama tipe semua orang?Â
Tentu saja tidak, karena banyak faktor yang memengaruhi mengapa seseorang berani menjadi risk seeker atau menjadi risk averter. Seperti pengetahuan, pengalaman, dana yang dimiliki, informasi yang tersedia bahkan juga perusahaan pelaku dalam investasi yang dipilih.
Peran Tokoh dalam Keputusan Investasi
Kejadian yang dialami oleh sejumlah ibu-ibu yang merasa tertipu atas tokoh agama yang mereka ikuti dalam setiap acara tayangan televisi merupakan sesuatu yang lumrah.Â
Bahkan kejadian ini sudah banyak terjadi sebelumnya. Artinya, ada tokoh-tokoh publik yang digunakan untuk cepat meyakinkan publik atas peluang investasi yang ditawarkan.
Dan selalu ada yang menjadi korban, walaupun hanya segelintir yang mau melaporkan, seperti beberapa ibu-ibu dalam kasus di atas. Sebagian besar, biasanya tidak mau memproses selain karena merasa kecewa tetapi juga tidak mau repot, ribet, dan menjadi "memalukan" ketika publik ketahui.
Penting diingatkan kepada siapa saja, bahwa menjadikan tokoh agama atau tokoh politik maupun tokoh publik lainnya sebagai dasar memutuskan investasi sangat keliru dan tidak boleh dilakukan. Karena investasi mempunyai kisah sendiri, dalam konteks jenis investasinya, pengelolanya, lingkungan sekitarnya dan aspek aspek bisnis lainnya.
Saatnya setiap orang berinvestasi harus terlebih dahulu menyediakan waktu mempelajari apa itu risiko investasi dan bagaimana mengenali serta mengelola risiko itu. Kalau tidak siap menerima risiko yang akan terjadi, akan bijaksana kalau tidak memaksakan diri berinvestasi.
Bila hanya melihat hasil yang besar saja sangat mungkin ujungnya adalah buntung. Bahkan menjadi penyakit traumatis yang akan didera sepanjang waktu. Pun akan menciptakan pikiran yang supernegatif terhadap tokoh yang diidolakan dan aktivitas investasi yang sangat jahat bagi dirinya.
Pesan bijak lainnya berkata bahwa jangan menaruh seluruh telur Anda dalam satu keranjang, sebab kalau keranjangnya jatuh maka seluruh telur Anda akan hancur. Begitulah contoh sederhana tentang risiko investasi.
Yupiter Gulo, 14 Oktober 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H